Minggu, 08 Januari 2012

Contoh Kota hemat Energi

Milton Keynes, Kota Satelit Hemat Energi

Milton Keynes tidak pernah usang diperdebatkan. Kota baru penuh kontroversi yang berada 72 kilometer barat daya London bukan nama asing bagi warga Inggris.
Struktur kota yang cenderung grid (kotak) sama sekali tidak mencerminkan bentuk kota Inggris umumnya yang cenderung radial atau organik. Dirancang belasan arsitek ternama, termasuk James Stirling, Richard Rogers, dan Norman Foster, sejumlah perancang kota, arsitek lanskap, dan insinyur, pada akhirnya morfologi Milton Keynes lebih menyerupai kota-kota di Amerika Serikat. Ini tidak disukai warga Inggris yang mencibir kota ini salah letak.
Bentuk memang mendominasi imajinasi keseluruhan. Meskipun morfologi Milton Keynes menyerupai banyak kota di Amerika, kota ini dirancang dengan konsep hemat energi.
Bila kota lain tumbuh dari proses perkembangan permukiman kecil menjadi besar dan akhirnya membentuk kota, Milton Keynes, tempat di mana Open University berada, benar-benar kota baru yang dibangun dari hamparan tanah kosong dan beberapa desa kecil yang dalam waktu relatif singkat disulap menjadi kota.
Meskipun demikian, perencanaan dan perancangan kota dilalui dengan proses panjang, dengan meramu ilmu pengetahuan dan teknologi masa depan untuk mengakomodasi kebutuhan hidup generasi mendatang yang diperkirakan memiliki keterbatasan akses terhadap sumber daya energi.
Kota taman
Meskipun secara mendasar Milton Keynes masih malanjutkan konsep garden city Sir Ebenezer Howard, dalam banyak hal penyelesaian rancangan kota sudah menerapkan kaidah perencanaan modern, termasuk penghematan energi kota.
Seperti umumnya kota di Inggris yang berkonsep garden city, Milton Keynes juga dikelilingi kawasan hijau green belt yang befungsi menampung kegiatan manusia serta industri bersama-sama dengan mempertimbangkan segala aspek kehidupan manusia. Kota ini juga dirancang dalam skala yang memungkinkan warga saling bersosialisasi dan tidak ada lahan yang dikuasai perorangan.
Konsep utopia garden city Sir Ebenezer Howard memformulasikan kota mandiri dalam hal penyediaan kebutuhan kota. Kota harus mengakomodasi tumbuhnya industri dan pertanian. Hanya seperenam dari area kota disisihkan sebagai ”kawasan kota”, sisanya dipertahankan sebagai kawasan pertanian yang dirancang terintegrasi dengan kawasan kota.
Kawasan pertanian yang mengelilingi kota diharapkan dapat memasok seluruh kebutuhan pangan warga kota sehingga mengurangi beban transportasi angkutan makanan. Sebaliknya, seluruh sampah warga kota dapat memasok pupuk pertanian di sekeliling kota. Meskipun demikian, konsep ini tidak pernah terealisasi seluruhnya.
Konsep Howard tampaknya hanya mungkin diaplikasikan pada kota berskala kecil. Kota modern sulit mengadopsi konsep tersebut karena dimensi kota yang selalu membesar akibat berkembangnya aktivitas modern yang harus diakomodasi kota. Kota modern memerlukan berbagai bangunan dan infrastruktur.
Dengan dimensi yang besar, jarak tempuh warga ke kawasan tepi kota menjadi jauh dan bukan merupakan jarak tempuh pejalan kaki. Konsep garden city yang mengisyaratkan kawasan rural-tepian kota (countryside) sebagai bagian kehidupan warga kota menjadi sulit diwujudkan. Jarak pusat kota dengan tepian kota menjadi terlalu jauh.
Pemecahan tengah dalam penerapan garden city di London, misalnya, adalah memasukkan countryside ke dalam kota. Untuk itu diletakkan taman-taman di tengah kota yang dirancang sedemikian rupa menyerupai kawasan liar (wild life) di tengah kota.
Taman kota London berbeda dengan taman di banyak kota besar di dunia, seperti Monas Jakarta yang ditata dan dilindungi, di setiap sudut terpampang peringatan ”Jangan Menginjak Rumput”. Hyde Park, Regent’s Park, St James’s Park, dan lainnya di pusat kota London dirancang sehingga warga kota dapat merasakan kebebasan alam yang asri seakan mereka masuk ke dalam wilayah rural-tepi kota.
Konsep garden city Milton Keynes dipecahkan dengan cara berbeda. Kebutuhan taman alamiah di kawasan kota dijawab melalui area terbuka danau, sungai, dan kawasan hijau di beberapa lokasi di kota serta lapangan olahraga yang dirancang dan disebar di setiap unit hunian di seluruh kota.
Lapangan parkir juga dirancang dengan penanaman pohon sebanyak mungkin sehingga membentuk lingkungan hijau mirip taman. Sejuta pohon ditanam di sepanjang jalan raya kota untuk mengantisipasi karbon dioksida hasil buangan kendaraan bermotor di kota ini.
Hemat energi
Direncanakan dan mulai dibangun pada tahun 1967, kota hemat energi Milton Keynes menempati area sekitar 8.900 hektar dan dipersiapkan menampung sekitar 250.000 warga. Konsep dasar perencanaan Milton Keynes dititikberatkan pada pemecahan sirkulasi kendaraan bermotor.
Tidak seperti halnya kota satelit di seputar London, Milton Keynes menghindari pemusatan transportasi di bagian tertentu pusat kota. Dihindari munculnya ”jalan utama” kota seperti terjadi di hampir semua kota di dunia.
Jalan utama kota di mana pun cenderung menjadi pusat kegiatan dan pusat kemacetan kota. Jaringan jalan Milton Keynes dirangkai dengan pola grid berdimensi lebar untuk menghindari kemacetan. Jalan kota memiliki nilai dan karakter lebih kurang sama sehingga menghindari terjadinya konsentrasi kegiatan yang dapat menimbulkan konsentrasi lalu lintas dan akhirnya kemacetan.
Banyak kritik bermunculan menyatakan kota ini tidak memiliki karakter atau ciri khas. Kota dinilai hambar, tidak ada area penting sebagai pusat kota, tidak ada jalan utama kota sebagai pusat aktivitas warga sebagaimana umumnya kota lain di dunia. Semua tempat sama, senada, sewarna, dan semata-mata hanya untuk pemenuhan fungsi kota: efektivitas transportasi dan pergerakan manusia.
Pola jalan utama berbentuk grid dengan panjang sisi sekitar satu kilometer (km). Setiap grid akan dibagi menjadi grid-grid lebih kecil dengan lebar jalan lebih kecil, di mana grid kecil akan dibagi lagi menjadi grid lebih kecil sehingga dalam unit grid terkecil dimungkinkan warga berinteraksi sosial secara baik satu sama lain. Jalan kendaraan bermotor dipisah dengan jalur sepeda dan pejalan kaki.
Manusia dapat berjalan kaki atau bersepeda melintas kawasan pusat kota tanpa harus menyeberang jalan utama. Jalur pedestrian dan jalur sepeda diturunkan di bawah jalan ketika berpapasan dengan jalan raya sehingga tidak terjadi persilangan. Kota ini memiliki jalur pedestrian dan jalur sepeda sepanjang 250 km yang diberi warna merah, memungkinkan setiap warga berjalan kaki atau mengendarai sepeda ke setiap sudut kota dengan aman dan nyaman.
Dengan rancangan kota semacam ini, warga Milton Keynes didorong berjalan kaki, bersepeda, atau menggunakan transportasi umum, memungkinkan konsumsi energi kota dihemat signifikan.
Konsep penyediaan jalur pedestrian dan sepeda yang menerus di seluruh kota semacam Milton Keynes seharusnya dapat mengilhami perancangan kota Indonesia masa datang, paling tidak dalam rangka antisipasi kemacetan lalu lintas dan sekaligus penghematan energi kota.
PENULIS: Tri Harso Karyono Guru Besar Arsitektur Universitas Tarumanagara, Peneliti Utama di Balai Besar Teknologi Energi, Serpong.
 

Contoh Kota hemat Energi

Pengunjung

Content View Hits : 865711

Polling Warga Hijau

What's your opinion about the site content and design?
 

Didukung Oleh :

Visitors

Top 10:
Unknown flag 76%Unknown (422833)
Germany flag 4%Germany (19605)
Indonesia flag 2%Indonesia (13546)
Brazil flag 2%Brazil (9440)
Russian Federation flag 2%Russian Federation (8924)
Luxembourg flag 1%Luxembourg (7560)
Mexico flag 1%Mexico (6013)
Japan flag <1%Japan (5443)
Czech Republic flag <1%Czech Republic (5087)
Poland flag <1%Poland (4444)
555215 visits from 138 countries
Milton Keynes, Kota Satelit Hemat Energi
User Rating: / 5
PoorBest 
Green Community
Milton Keynes tidak pernah usang diperdebatkan. Kota baru penuh kontroversi yang berada 72 kilometer barat daya London bukan nama asing bagi warga Inggris.
Struktur kota yang cenderung grid (kotak) sama sekali tidak mencerminkan bentuk kota Inggris umumnya yang cenderung radial atau organik. Dirancang belasan arsitek ternama, termasuk James Stirling, Richard Rogers, dan Norman Foster, sejumlah perancang kota, arsitek lanskap, dan insinyur, pada akhirnya morfologi Milton Keynes lebih menyerupai kota-kota di Amerika Serikat. Ini tidak disukai warga Inggris yang mencibir kota ini salah letak.
Bentuk memang mendominasi imajinasi keseluruhan. Meskipun morfologi Milton Keynes menyerupai banyak kota di Amerika, kota ini dirancang dengan konsep hemat energi.
Bila kota lain tumbuh dari proses perkembangan permukiman kecil menjadi besar dan akhirnya membentuk kota, Milton Keynes, tempat di mana Open University berada, benar-benar kota baru yang dibangun dari hamparan tanah kosong dan beberapa desa kecil yang dalam waktu relatif singkat disulap menjadi kota.
Meskipun demikian, perencanaan dan perancangan kota dilalui dengan proses panjang, dengan meramu ilmu pengetahuan dan teknologi masa depan untuk mengakomodasi kebutuhan hidup generasi mendatang yang diperkirakan memiliki keterbatasan akses terhadap sumber daya energi.
Kota taman
Meskipun secara mendasar Milton Keynes masih malanjutkan konsep garden city Sir Ebenezer Howard, dalam banyak hal penyelesaian rancangan kota sudah menerapkan kaidah perencanaan modern, termasuk penghematan energi kota.
Seperti umumnya kota di Inggris yang berkonsep garden city, Milton Keynes juga dikelilingi kawasan hijau green belt yang befungsi menampung kegiatan manusia serta industri bersama-sama dengan mempertimbangkan segala aspek kehidupan manusia. Kota ini juga dirancang dalam skala yang memungkinkan warga saling bersosialisasi dan tidak ada lahan yang dikuasai perorangan.
Konsep utopia garden city Sir Ebenezer Howard memformulasikan kota mandiri dalam hal penyediaan kebutuhan kota. Kota harus mengakomodasi tumbuhnya industri dan pertanian. Hanya seperenam dari area kota disisihkan sebagai ”kawasan kota”, sisanya dipertahankan sebagai kawasan pertanian yang dirancang terintegrasi dengan kawasan kota.
Kawasan pertanian yang mengelilingi kota diharapkan dapat memasok seluruh kebutuhan pangan warga kota sehingga mengurangi beban transportasi angkutan makanan. Sebaliknya, seluruh sampah warga kota dapat memasok pupuk pertanian di sekeliling kota. Meskipun demikian, konsep ini tidak pernah terealisasi seluruhnya.
Konsep Howard tampaknya hanya mungkin diaplikasikan pada kota berskala kecil. Kota modern sulit mengadopsi konsep tersebut karena dimensi kota yang selalu membesar akibat berkembangnya aktivitas modern yang harus diakomodasi kota. Kota modern memerlukan berbagai bangunan dan infrastruktur.
Dengan dimensi yang besar, jarak tempuh warga ke kawasan tepi kota menjadi jauh dan bukan merupakan jarak tempuh pejalan kaki. Konsep garden city yang mengisyaratkan kawasan rural-tepian kota (countryside) sebagai bagian kehidupan warga kota menjadi sulit diwujudkan. Jarak pusat kota dengan tepian kota menjadi terlalu jauh.
Pemecahan tengah dalam penerapan garden city di London, misalnya, adalah memasukkan countryside ke dalam kota. Untuk itu diletakkan taman-taman di tengah kota yang dirancang sedemikian rupa menyerupai kawasan liar (wild life) di tengah kota.
Taman kota London berbeda dengan taman di banyak kota besar di dunia, seperti Monas Jakarta yang ditata dan dilindungi, di setiap sudut terpampang peringatan ”Jangan Menginjak Rumput”. Hyde Park, Regent’s Park, St James’s Park, dan lainnya di pusat kota London dirancang sehingga warga kota dapat merasakan kebebasan alam yang asri seakan mereka masuk ke dalam wilayah rural-tepi kota.
Konsep garden city Milton Keynes dipecahkan dengan cara berbeda. Kebutuhan taman alamiah di kawasan kota dijawab melalui area terbuka danau, sungai, dan kawasan hijau di beberapa lokasi di kota serta lapangan olahraga yang dirancang dan disebar di setiap unit hunian di seluruh kota.
Lapangan parkir juga dirancang dengan penanaman pohon sebanyak mungkin sehingga membentuk lingkungan hijau mirip taman. Sejuta pohon ditanam di sepanjang jalan raya kota untuk mengantisipasi karbon dioksida hasil buangan kendaraan bermotor di kota ini.
Hemat energi
Direncanakan dan mulai dibangun pada tahun 1967, kota hemat energi Milton Keynes menempati area sekitar 8.900 hektar dan dipersiapkan menampung sekitar 250.000 warga. Konsep dasar perencanaan Milton Keynes dititikberatkan pada pemecahan sirkulasi kendaraan bermotor.
Tidak seperti halnya kota satelit di seputar London, Milton Keynes menghindari pemusatan transportasi di bagian tertentu pusat kota. Dihindari munculnya ”jalan utama” kota seperti terjadi di hampir semua kota di dunia.
Jalan utama kota di mana pun cenderung menjadi pusat kegiatan dan pusat kemacetan kota. Jaringan jalan Milton Keynes dirangkai dengan pola grid berdimensi lebar untuk menghindari kemacetan. Jalan kota memiliki nilai dan karakter lebih kurang sama sehingga menghindari terjadinya konsentrasi kegiatan yang dapat menimbulkan konsentrasi lalu lintas dan akhirnya kemacetan.
Banyak kritik bermunculan menyatakan kota ini tidak memiliki karakter atau ciri khas. Kota dinilai hambar, tidak ada area penting sebagai pusat kota, tidak ada jalan utama kota sebagai pusat aktivitas warga sebagaimana umumnya kota lain di dunia. Semua tempat sama, senada, sewarna, dan semata-mata hanya untuk pemenuhan fungsi kota: efektivitas transportasi dan pergerakan manusia.
Pola jalan utama berbentuk grid dengan panjang sisi sekitar satu kilometer (km). Setiap grid akan dibagi menjadi grid-grid lebih kecil dengan lebar jalan lebih kecil, di mana grid kecil akan dibagi lagi menjadi grid lebih kecil sehingga dalam unit grid terkecil dimungkinkan warga berinteraksi sosial secara baik satu sama lain. Jalan kendaraan bermotor dipisah dengan jalur sepeda dan pejalan kaki.
Manusia dapat berjalan kaki atau bersepeda melintas kawasan pusat kota tanpa harus menyeberang jalan utama. Jalur pedestrian dan jalur sepeda diturunkan di bawah jalan ketika berpapasan dengan jalan raya sehingga tidak terjadi persilangan. Kota ini memiliki jalur pedestrian dan jalur sepeda sepanjang 250 km yang diberi warna merah, memungkinkan setiap warga berjalan kaki atau mengendarai sepeda ke setiap sudut kota dengan aman dan nyaman.
Dengan rancangan kota semacam ini, warga Milton Keynes didorong berjalan kaki, bersepeda, atau menggunakan transportasi umum, memungkinkan konsumsi energi kota dihemat signifikan.
Konsep penyediaan jalur pedestrian dan sepeda yang menerus di seluruh kota semacam Milton Keynes seharusnya dapat mengilhami perancangan kota Indonesia masa datang, paling tidak dalam rangka antisipasi kemacetan lalu lintas dan sekaligus penghematan energi kota.
PENULIS: Tri Harso Karyono Guru Besar Arsitektur Universitas Tarumanagara, Peneliti Utama di Balai Besar Teknologi Energi, Serpong.
 

Contoh Kota hemat Energi

Kota Hemat Energi


Kota Hijau Atau Kota Hemat Energi? Solusi Terhadap Global Warming

Global Warming (Pemanasan global) adalah permasalahan yang sedang kita hadapi di dunia saat ini. Dampaknya memberikan efek yang negatif pada bumi, dengan mulai mencairnya es di Kutub Utara, punahnya species hewan dan tumbuhan, juga berakibat pada memburuknya kesehatan manusia. Salah satu penyebabnya adalah pembakaran BBM (Bahan Bakar Minyak) yang merupakan konsumsi terbesar umat manusia di dunia yang dapat mengemisi CO2 dan memicu pemanasan bumi. Penggunaan BBM memang belum bisa tergantikan karena belum siapnya energi alternatif, sementara persediannya mulai menipis dan harganya yang melonjak tinggi.
Dari sekian banyak penggunaannya di seluruh belahan dunia, sebuah kota besar paling banyak konsumsinya dibandingkan dengan wilayah / daerah lain seperti pedesaan, suburbs dll. Bila dipersentasikan, kota memakan lebih dari 70 % energi. Saat ini memang di setiap perkotaan, masyarakatnya mulai disadarkan untuk peduli lingkungan. Sering kita dengar, seperti GO Green, Green City, Green Concept, Green Living, Green Development dan banyak slogan lainnya. Banyak juga diadakan event – event seperti tanam sejuta pohon, green concert, pembagian bibit tanaman gratis dll. Semuanya menyuarakan agar menjaga lingkungan kota tetap hijau.
Walaupun pada prakteknya akan ditemui berbagai kesulitan / hambatan karena banyaknya kepentingan dari berbagai pihak terutama dari sisi komersialitas. Banyak dibangunnya Apartemen, Office, Mal dan pusat perbelanjaan lainnya menunjukkan bahwa porsi hijau yang kita gembor - gemborkan itu tidak sebanding dengan hutan – hutan beton yang terus berdiri setiap tahunnya. Seharusnya, area hijau memiliki tempat yang lebih banyak dalam sebuah kota. Karena hanya pepohonan & tanaman hijau lah yang dapat mengurangi pembakaran BBM atau emisi CO2 di udara.
Dari uraian di atas mungkin dapat sedikit disimpulkan, kita belum bisa membentuk sebuah kota hijau untuk mengatasi global warming. Kita perlu memandang permasalahan tersebut dari sisi yang lain; Seperti dengan menghemat energi BBM ataupun menciptakan energi alternatif. Sehingga mengurangi pembakaran BBM di udara karena minimalnya penggunaan dan lebih menggunakan bahan bakar lain yang lebih ecofriendly atau bersahabat dengan lingkungan.
Jadi lebih tepat kita berusaha untuk membentuk sebuah kota hemat energi daripada sebuah kota hijau untuk mengatasi permasalahan global warming. Walaupun dalam kota hemat energi berupaya meminimalisasi penggunaan energi namun tidak akan mengganggu atau tetap bisa untuk penyelenggaraan aktifitas warga kota. Dalam setiap bagiannya dari sebuah kota, bisa kita ambil beberapa konsep atau strategi untuk membentuk kota hemat energi. Sebuah kota dibagi ke dalam sub - sub seperti warga kota itu sendiri, hunian / rumah tinggal, fasilitas perkotaan (sekolah, rumah sakit, kantor, bangunan publik dll.), transportasi atau akses dan ruang terbuka hijau. Untuk menciptakan konsep kota hemat energi maka perlu dijabarkan dan ditelusuri dari sub – sub kota tersebut di atas.
Pertama, hunian / tempat tinggal / perumahan; ada 3 aspek yang bisa kita ambil, yaitu : Akses masuk ke dalam perumahan. Fenomena yang sekarang terjadi di Indonesia, akses tersebut terlalu jauh ke dalam sehingga warganya harus menggunakan kendaraan bermotor yang tentunya pemborosan BBM sementara itu juga tidak adanya jalur pedestrian yang berselasar / beratap, sehingga warganya lebih memilih untuk menggunaan kendaraan umum. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan kembali dengan membuat akses yang lebih dekat ke dalam perumahan terutama perlu dipikirkan kembali bagi pemerintah maupun pengembang swasta yang membangun perumahan.
Aspek kedua, Orientasi bangunan perumahan. Kondisi perumahan yang ada sekarang, orientasi tidak terlalu diperhatikan. Dengan memperhatikan orientasi bangunan maka akan memaksimalkan perolehan sinar matahari ke dalam rumah dan akan lebih hemat energi karena tidak diperlukan cahaya lampu / listrik di siang hari. Yaitu dengan menghadapkan bangunan ke arah selatan, ruang utama menghadap selatan sementara ruang pendukung menghadap utara.
Aspek ketiga adalah penataan bangunan. Perencanaan yang baik dalam sebuah kompleks perumahan sangatlah diperlukan. Warga tidak perlu menggunakan kendaraan hanya untuk membeli kebutuhan rumah yang sangat jauh jaraknya. Oleh karena itu perlu dibuat fasilitas komersial ataupun toko yang jaraknya dekat dengan rumah yang memungkinkan untuk penghuninya berjalan kaki menuju ke sana.
Kedua, Fasilitas perkotaan yang berupa bangunan juga perlu diperhatikan agar dapat menghemat energi yaitu dengan membuat rancangan pasif dengan memperhatikan aspek – aspek sebagai berikut : orientasi bangunan utara – selatan, memanfaatkan cahaya matahari tidak langsung bagi penerangan ruang dalam bangunan, meminimalkan radiasi panas / cahaya matahari langsung dari plafon maupun dari luar bangunan, meminimalkan penggunaan elemen kaca pada bangunan tinggi, mengoptimalkan ventilasi silang (meminimkan penggunaan AC), mengurangi pelapisan permukaan tanah dengan material keras (aspal, beton, dsb.) untuk mengurangi pemanasan lingkungan sekitar bangunan dan beberapa aspek lainnya.
Bangunan hemat energi juga harus didesain sesuai dengan iklim lingkungan setempat, karena dari contoh yang sudah ada, banyak bangunan – bangunan di Indonesia yang banyak menggunakan elemen kaca yang sebenarnya sangat tidak cocok dengan iklim tropis dan dapat mengakibatkan efek rumah kaca yang juga salah satu faktor penyebab global warming. Selain itu, perlu juga disosialisasikan untuk bangunan – bangunan yang menggunakan energi alternatif / energi yang bisa diperbaharui seperti sel surya / cahaya matahari, energi angin atau energi biofuel.
Beberapa fasilitas penunjang dalam sebuah bangunan juga bisa dijadikan aspek hemat energi, seperti pemakaian lampu, eskalator, ataupun lift. Dengan teknologi saat ini, dapat memungkinkan untuk berhemat energi karena adanya sistem canggih yang mapu membuatnya menjadi otomatis. Sehingga akan bisa hidup atau hanya bisa dipakai bila ada sensor manusia yang berada di dalam atau yang sedang beraktifitas di dalam bangunan. Bila tidak terpakai, sistem tersebut akan otomatis mematikan penggunaannya.