Jumat, 02 November 2012

Skema Proses Perencanaan Pembangunan


Skema Proses Perencanaan Pembangunan

Undang Undang Perburuhan No 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja ( PHK )

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 1964
TENTANG
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN SWASTA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :        bahwa untuk lebih menjamin ketenteraman serta kepastian bekerja bagi kaum buruh yang di samping tani harus menjadi kekuatan pokok dalam revolusi dan harus menjadisoko-guru masyarakat adil dan makmur, seperti tersebut dalam Manifesto Politik,beserta perinciannya, perlu segera dikeluarkan Undang-undang tentang PemutusanHubungan Kerja di Perusahaan Swasta;
Mengingat:        1. Pasal 5 ayat 1 serta pasal 27 ayat 2 Undang-undang Dasar;
2. Undang-undang No. 10 Prp tahun 1960 jo Keputusan Presiden No. 239 tahun 1964;         
Dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong;
MEMUTUSKAN :
I.          Mencabut: "Regeling Ontslagrechtvoor bepaalde niet Europe se Arbeiders" (Staatsblad 1941 No. 396) dan peraturan-peraturan lain mengenai pemutusan hubungan kerja seperti tersebutdidalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1601 sampai dengan 1603 Oud danpasal 1601 sampai dengan 1603, yang berlawanan dengan ketentuan-ketentuantersebut didalam Undang-undang ini.
II.         Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANGPEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN SWASTA.
Pasal 1
(1)        Pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusanhubungan kerja.
(2)        Pemutusan hubungan kerja dilarang:
a.         selama buruh berhalanganmenjalankan pekerjaannya karena keadaan sakit menurut keterangan dokter selamawaktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan terus-menerus;
b.         selama buruh berhalanganmenjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap Negara yangditetapkan oleh Undang-undang atau Pemerintah atau karena menjalankan ibadatyang diperintahkan agamanya dan yang disetujui Pemerintah.
Pasal 2
            Bilasetelah diadakan segala usaha pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan,pengusaha harus merundingkan maksudnya untuk memutuskan hubungan kerja denganorganisasdi buruh yang bersangkutan atau dengan buruh sendiri dalam hal buruhitu tidak menjadi anggota dari salah-satu organisasi buruh.
Pasal 3
(1)        Bila perundingan tersebut dalam pasal 2nyata-nyata tidak menghasilkan persesuaian paham, pengusaha hanya dapatmemutuskan hubungan kerja dengan buruh, setelah memperoleh izin PanitiaPenyelsaian Perselisihan Perburuhan Daerah (Panitia Daerah), termaksud padapasal 5 Undang-undang No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian PerselisihanPerburuhan (Lembaran-Negara tahun 1957 No. 42) bagi pemutusan hubungan kerjaperseorangan, dan dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat(Panitia Pusat) termaksud pada pasal 12 Undang-undang tersebut di atas bagipemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
(2)        Pemutusan hubungan kerja secarabesar-besaran dianggap terjadi jika dalam satu perusahaan dalam satu bulan,pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan 10 orang buruh atau lebih, ataumengadakan rentetan pemutusan-pemutusan hubungan kerja yang dapat menggambarkansuatu itikad untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
Pasal 4
            Izintermaksud pada pasal 3 tidak diperlukan, bila pemutusan hubungan kerjadilakukan terhadap buruh dalam masa percobaan.
            Lamanyamasa percobaan tidak boleh melebihi tiga bulan dan adanya masa percobaan harusdiberitahukan lebih dahulu pada calon buruh yang bersangkutan.
Pasal 5
(1)        Permohonan izin pemutusan hubungan kerjabeserta alasan alasan yang menjadi dasarnya harus diajukan secara tertuliskepada Panitia Derah, yang wilayah kekuasaannya meliputi tempat kedudukanpengusaha bagi pemutusan hubungan kerja perseorangan dan kepada Panitia Pusatbagi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
(2)        Permohonan izin hanya diterima olehPanitia Daerah/ Panitia Pusat bila ternyata bahwa maksud untuk memutuskanhubungan kerja telah dirundingkan seperti termaksud dalam pasal 2, tetapiperundingan ini tidak menghasilkan persesuaian paham.
Pasal 6
            PanitiaDarah dan Panitia Pusat menyelesaikan permohonan izin pemutusan hubungan kerjadalam waktu sesingkat-singkatnya, menurut tata-cara yang berlaku untuk penyelesaianperselisihan perburuhan.
Pasal 7
(1)        Dalam mengambil keputusan terhadappermohonan izin pemutusan hubungan kerja, Panitia Daerah dan Panitia Pusatdisamping ketentuan-ketentuan tentang hal ini yang dimuat dalam Undang-undangNo. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran-Negaratahun 1957 No. 42), memperhatikan keadaan dan perkembangan lapangan kerja sertakepentingan buruh dan perusahaan.
(2)        Dalam hal Panitia Daerah atau PanitiaPusat memberikan izin maka dapat ditetapkan pula kewajiban pengusaha untukmemberikan kepada buruh yang bersangkutan uang pesangon, uang jasa dan gantikerugian lain-lainnya.
(3)        Penetapan besarnya uang pesangon, uangjasa dan ganti kerugian lainnya diatur di dalam Peraturan Menteri Perburuhan.
(4)        Dalam Peraturan Menteri Perburuhan itudiatur pula pengertian tentang upah untuk keperluan pemberian uang pesangon,uangjasa dan ganti kerugian tersebut di atas.
Pasal 8
Terhadappenolakan pemberian izin oleh Panitia Daerah, atau pemberian izin dengansyarat, tersebut pada pasal 7 ayat (2), dalam waktu empat belas hari setelahputusan diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik buruh dan/ataupengusaha maupun organisasi buruh/atau organisasi pengusaha yang bersangkutandapat minta banding kepada Panitia Pusat.
Pasal 9
Panitia Pusat menyelesaikanpermohonan banding menurut tata-cara yang berlaku untuk penyelesaianperselisihan perburuhan dalam tingkat bandingan.
Pasal 10
Pemutusan hubungan kerja tanpaizin seperti tersebut pada pasal 3 adalah batal karena hukum.
Pasal 11
Selama izintermaksud pada pasal 3 belum diberikan, dan dalam hal ada permintaan bandingtersebut pada pasal 8, Panitia Pusat belum memberikan keputusan, baik pengusahamaupun buruh harus tetap memenuhi segala kewajibannya.
Pasal 12
Undang-undangini berlaku bagi pemutusan hubungan kerja yang terjadi diperusahaan-perusahaanSwasta, terhadap seluruh buruh dengan tidak menghiraukan status kerja mereka,asal mempunyai masa kerja lebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut.
Pasal 13
Ketentuan-ketentuanpelaksanaan yang belum diatur di dalam Undang-undang ini ditetapkan olehMenteri Perburuhan.
Pasal 14
Undang-undang ini mulai berlakupada hari diundangkannya.
Agar supaya setiap orang dapatmengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannyadalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.

Undang Undang Perburuhan No 12 Tahun 1948 Tentang Kriteria Status Dan Perlindungan Buruh

UNDANG-UNDANG (UU) 1948 No. 12. (12/1948)
Peraturan tentang Undang-undang Kerja Tahun 1948.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
bahwa untuk menjamin pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi buruh perlu diadakan
aturanaturan tentang pekerjaan buruh;
Mengingat:
pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) berhubung dengan pasal IV Aturan Peralihan Undang-undang
Dasar dan Maklumat Wakil Presiden Republik Indonesia tertanggal 16 Oktober 1945 No. X;
Dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan peraturan sebagai berikut :
"UNDANG-UNDANG KERJA TAHUN 1948".
BAGIAN I.
Tentang istilah-istilah dalam Undang-undang ini.
Pasal 1.
(1) Dalam Undang-undang ini yang dimaksudkan :
(a) Pekerjaan, ialah pekerjaan yang dijalankan oleh buruh untuk majikan dalam suatu
hubungan kerja dengan menerima upah.
(b) Orang dewasa, ialah orang laki-laki maupun perempuan, yang berumur 18 tahun
keatas.
(c) Orang muda, ialah orang laki-laki maupun perempuan, yang berumur diatas 14
tahun, akan tetapi dibawah 18 tahun.
(d) Anak-anak, ialah orang laki-laki maupun perampuan, yang berumur 14 (empat belas)
tahun kebawah.
(e) Hari, ialah waktu sehari-semalam selama 24 jam.
(f) Siang-hari, ialah waktu antara jam 6 sampai jam 18.
(g) Malam-hari, ialah waktu antara jam 18 sampai jam 6.
(h) Seminggu, ialah waktu selama 7 hari.
(2) Dalam arti kata majikan termasuk juga kepala, pemimpin atau pengurus perusahaan, atau
bagian perusahaan.
(3) Disamakan dengan perusahaan ialah segala tempat pekerjaan, dari Pemerintah maupun
partikelir.
BAGIAN II.
Tentang pekerjaan anak-anak dan orang muda.
Pasal 2.
Anak-anak tidak moleh menjalankan pekerjaan.
Pasal 3.
Jikalau seorang anak yang berumur 6 tahun atau lebih terdapat dalam ruangan yang tertutup,
dimana sedang dijalankan pekerjaan, maka dianggap bahwa anak itu menjalankan pekerjaan ditempat
itu, kecuali jikalau ternyata itu sebaliknya.
Pasal 4.
(1) Orang muda tidak boleh menjalankan pekerjaan pada malam hari.
(2) Dapat dikecualikan dari larangan termaksud dalam ayat (1) hal-hal dimana pekerjaan orang
muda pada malam hari itu tidak dapat dihindarkan berhubung dengan kepentingan atau
kesejahteraan umum.
(3) Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan hal-hal yang dikecualikan termaksud dalam
ayat (2) beserta syaratsyarat untuk menjaga kesehatan buruh muda itu.
Pasal 5.
(1) Orang muda tidak boleh menjalankan pekerjaan di dalam tambang, lobang di dalam tanah
atau tempat untuk mengambil logam dan bahan-bahan lain dari dalam tanah.
(2) Larangan tersebut dalam ayat (1) tidak berlaku kepada buruh muda yang berhubung dengan
pekerjaannya kadangkadang harus turun di bagian-bagian tambang di bawah tanah dan tidak
menjalankan pekerjaan tangan.
Pasal 6.
(1) Orang muda tidak boleh menjalankan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau
keselamatannya.
(2) Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan pekerjaan termaksud dalam ayat (1).
BAGIAN III.
Tentang pekerjaan orang wanita.
Pasal 7.
(1) Orang wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan pada malam hari, kecuali jikalau pekerjaan
itu menurut sifat, tempat dan keadaan seharusnya dijalankan oleh orang wanita.
(2) Dapat dikecualikan dari larangan termaksud dalam ayat (1) hal-hal dimana pekerjaan wanita
pada malam hari itu tidak dapat dihindarkan berhubung dengan kepentingan atau
kesejahteraan umum.
(3) Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan hal-hal yang dikecualikan termaksud dalam
ayat (2) beserta syaratsyarat untuk menjaga kesehatan dan kesusilaan buruh wanita itu.
Pasal 8.
(1) Orang wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan di dalam tambang, lobang di dalam
tanah atau tempat lain untuk mengambil logam dan bahan-bahan lain dari dalam tanah.
(2) Larangan tersebut dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap kepada orang wanita, yang berhubung dengan pekerjaannya kadang-kadang harus turun di bagian-bagian tambang di
bawah tanah dan tidak menjalankan pekerjaan tangan.
Pasal 9.
(1) Orang wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau
keselamatannya, demikian pula pekerjaan yang menurut sifat, tempat dan keadaannya
berbahaya bagi kesusilaannya.
(2) Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan pekerjaan yang termaksud dalam ayat 1.
BAGIAN IV.
TENTANG WAKTU KERJA DAN WAKTU ISTIRAHAT.
Pasal 10.
(1) Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu.
Jikalau pekerjaan dijalankan pada malam hari atau berbahaya bagi kesehatan atau
keselamatan buruh, waktu kerja tidak boleh lebih dari 6 jam sehari dan 35 jam seminggu.
(2) Setelah buruh menjalankan pekerjaan selama 4 jam terus menerus harus diadakan waktu
istirahat yang sedikitsedikitnya setengah jam lamanya; waktu istirahat itu tidak termasuk jam
bekerja termaksud dalam ayat (1).
(3) Tiap-tiap minggu harus diadakan sedikit-sedikitnya satu hari istirahat.
(4) Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau
keselamatan buruh termaksud dalam ayat (1).
(5) Dalam Peraturan Pemerintah dapat pula diadakan aturanaturan lebih lanjut tentang waktu
kerja dan waktu istirahat untuk pekerjaan-pekerjaan atau perusahaanperusahaan yang
tertentu yang dipandang perlu untuk menjaga kesehatan dan keselamatan buruh.
Pasal 11.
Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan pada hari-hari raya, yang ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah, kecuali jikalau pekerjaan itu menurut sifatnya harus dijalankan terus pada
hari-hari raya itu.
Pasal 12.
(1) Dalam hal-hal, dimana pada suatu waktu atau biasanya pada tiap-tiap waktu atau dalam masa
yang tertentu ada pekerjaan yang bertimbun-timbun yang harus lekas diselesaikan, boleh
dijalankan pekerjaan dengan menyimpang dari yang ditetapkan dalam pasal 10 dan
11, akan tetapi waktu kerja itu tidak boleh lebih dari 54 jam seminggu.
Aturan ini tidak berlaku terhadap pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan
buruh.
(2) Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan hal-hal termaksud dalam ayat (1) beserta
syarat-syarat untuk menjaga kesehatan dan keselamatan buruh.
Pasal 13.
(1) Buruh Wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haidh; (2) Buruh Wanita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya ia menurut
perhitungan akan melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah melahirkan anak atau
gugur-kandung.
(3) Waktu istirahat sebelum saat buruh wanita menurut perhitungan akan melahirkan anak,
dapat diperpanjang sampai selama-lamanya tiga bulan jikalau didalam suatu keterangan
dokter dinyatakan, bahwa hal itu perlu untuk menjaga kesehatannya.
(4) Dengan tidak mengurangi yang telah ditetapkan dalam pasal 10 ayat (1) dan (2) buruh wanita
yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusukan
anaknya, jikalau hal itu harus dilakukan selama waktu-kerja.
Pasal 14.
(1) Selain waktu istirahat seperti tersebut dalam pasal 10 dan 13, buruh yang menjalankan
pekerjaan untuk satu atau beberapa majikan dari satu organisasi harus diberi idzin untuk
beristirahat sedikit-sedikitnya dua minggu tiap-tiap tahun.
(2) Buruh yang telah bekerja 6 tahun berturut-turut pada suatu majikan atau beberapa majikan
yang tergabung dalam satu organisasi mampunyai hak istirahat 3 bulan lamanya.
Pasal 15.
(1) Dengan tidak mengurangi yang telah ditetapkan dalam pasal 10 ayat (1) dan (2), buruh harus
diberi kesempatan yang sepatutnya untuk menjalankan kewajiban menurut agamanya.
(2) Pada hari 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja.
BAGIAN V.
TENTANG TEMPAT KERJA DAN PERUMAHAN BURUH.
Pasal 16.
(1) Tempat kerja dan perumahan buruh yang disediakan oleh majikan harus memenuhi
syarat-syarat kesehatan dan kebersihan.
(2) Dalam Peraturan Pemerintah akan diadakan aturan-aturan yang lebih lanjut tentang
syarat-syarat kesehatan yang dimaksudkan dalam ayat (1).
(3) Pegawai-pegawai pengawasan perburuhan yang ditunjuk oleh Menteri yang diserahi urusan
Perburuhan berhak untuk memberi perintah-perintah tentang penjagaan kebersihan dan
kesehatan dalam tempat kerja dan perumahan buruh yang disediakan oleh majikan.
BAGIAN VI.
TENTANG TANGGUNG JAWAB.
Pasal 17.
(1) Majikan berwajib menjaga supaya aturan-aturan dalam Undang-undang ini dan dalam
Peraturan-peraturan Pemerintah yang dikeluarkan berhubung dengan undang-undang ini,
demikian juga perintah-perintah yang diberikan oleh pegawai-pegawai pengawasan
perburuhan termaksud dalam pasal 16 ayat (5) di-indahkan.
(2) Kewajiban termaksud dalam ayat (1) ada juga pada pegawai-pegawai majikan yang
mengawasi pekerjaan dan yang diserahi dengan tegas oleh majikan untuk menjaga, bahwa aturan-aturan dan perintah-perintah termaksud dalam ayat (1) di-indahkan.
BAGIAN VII.
ATURAN HUKUMAN.
Pasal 18.
(1) Majikan dan pegawai yang mengawasi termaksud dalam pasal 17 yang tidak memenuhi
kewajibannya, termaksud dalam pasal 17 ayat (1) dihukum dengan hukuman-kurungan
selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya lima ratus rupiyah.
(2) Jikalau pelanggaran itu terjadi didalam waktu dua tahun semenjak yang melanggar dikenakan
hukuman yang tidak dapat dirubah lagi, karena pelanggaran yang sama, maka dapat
dijatuhkan hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya
seribu rupiah.
(3) Hal-hal yang dapat dikenakan hukuman menurut pasal ini dianggap sebagai pelanggaran.
Pasal 19.
(1) Jikalau majikan suatu badan hukum, maka tuntutan dan hukuman dijalankan terhadap
pengurus badan hukum itu.
(2) Jikalau pengurus badan hukum itu diserahkan kepada badan hukum lain, maka tuntutan dan
hukuman dijalankan terhadap kepada pengurus badan hukum yang mengurus.
BAGIAN VIII.
TENTANG MENGUSUT PELANGGARAN.
Pasal 20.
Selain dari pada pegawai-pegawai yang berkewajiban mengusut pelanggaran pada umumnya,
pegawai-pegawai pengawasan perburuhan dan orang-orang lain yang menurut Undangundang
ditunjuk dan diberi kekuasaan untuk itu, kecuali diwajibkan untuk menjaga dan membantu supaya
aturan-aturan dalam Undang-undang ini dan dalam peraturan-peraturan Pemerintah yang
dikeluarkan berhubung dengan Undang-undang ini serta perintah-perintah termaksud dalam pasal 16
ayat (3) dijalankan, diwajibkan juga untuk mengusut pelanggaran.
BAGIAN IX.
ATURAN TAMBAHAN.
Pasal 21.
(1) Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan saat mulai berlakunya Undang-undang ini,
demikian juga akan diatur berangsur-angsur berlakunya Undang-undang ini terhadap
pekerjaan atau macam pekerjaan yang tertentu untuk seluruh atau sebagian dari
aturan-aturan dalam Undangundang ini.
(2) Dalam Peraturan Pemerintah tersebut dalam ayat (1) dapat juga diadakan aturan-aturan
peralihan.
Pasal 22.
Undang-undang ini disebut "Undang-undang Kerja tahun 1948".
Agar Undang-undang ini diketahui oleh umum diperintahkan, supaya diumumkan secara
biasa.
Ditetapkan di Yogyakarta
pada tanggal 20 April 1948.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEKARNO.
Menteri Kehakiman,
SOESANTO TIRTOPRODJO.
Diumumkan
pada tanggal 15 April 1948.
Sekretaris Negara,
A.G. PRINGGODIGDO.
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1948
Pemerintah yang khusus ditunjuk dalam Undang-undang ini. Undang-undang yang khusus sudah
barang tentu akan memuat aturan-aturan yang lebih lanjut yang mungkin berbeda dari aturan-aturan
dalam Undang-undang yang umum ini. Maka dalam hal itu aturan yang khusus yang berlaku (lex
specialis derogat generali).
Undang-undang pokok ini dimaksudkan pula sebagai suatu pernyataan (declaratoir) politik
sosial negara kita yang mengenai pekerjaan buruh untuk menjamin pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi buruh, selaras dengan pasal 27, ayat (2) Undang-undang Dasar. Undang-undang ini akan
merupakan pedoman buat masyarakat pada umumnya dan butuh dan majikan pada khususnya.
Keadaan-keadaan dalam perburuhan yang hendak dilaksanakan oleh Undang-undang ini pada
umumnya baru bagi buruh Indonesia. Beberapa aturan yang kelihatannya merugikan buruh, misalnya
larangan pekerjaan anak, akan berakibat, bahwa anak tidak lagi dapat mencari nafkah sendiri untuk
meringankan beban hidup orang tuanya. Mungkin sekali larangan pekerjaan anak akan menimbulkan
salah faham diantara buruh yang terkena.
Bagi majikan Undang-undang ini membawa beberapa akibat, yang mengenai keuangannya
dan peraturan kerja.
Maka pada permulaan perlu sekali diadakan penerangan kepada buruh dan majikan agar
mereka insyaf akan maksud Undang-undang ini dan mudah menyesuaikan diri kepadanya.
Walaupun demikian, dalam masa peralihan mungkin masih timbul beberapa kesukaran dalam
perburuhan dan perusahaan karena berlakunnya Undang-undang ini, misalnya dalam hal-hal buruh
anak harus diganti oleh buruh dewasa. Kesukaran-kesukaran itu dapat dihindarkan.
Kesukaran-kesurakan tidak menimbulkan keragu-raguan untuk mengadakan Undang-undang ini.
Hanya perlu diusahakan untuk mengurangi kesukaran-kesukaran itu. Untuk maksud ini
diadakan pasal 21. Dalam peraturan Pemerintah, yang lebih lemas dan mudah dirubah dari pada
Undang-undang, akan ditetapkan saat mulai berlakunya Undang-undang ini. Demikian juga akan
diatur dengan berangsur-angsur untuk pekerjaan atau macam pekerjaan yang tertentu, baik untuk
seluruh, ataupun untuk sebagian dari aturan-aturan dalam Undang-undang ini. Selain dari pada itu
menurut pasal 22 ayat (2) dapat diadakan aturan-aturan peralihan.
Selanjutnya Undang-undang ini akan dijalankan dengan penuh kebijaksanaan, sehingga
maksudnya dapat dilaksanakan sebaik-baiknya.
Undang-undang ini bersifat hukum umum (publiek rechtelijk) dengan sangsi hukuman
karena :
Pertama : Aturan-aturan yang termuat didalamnya bukan bermaksud melindungi
kepentingan seseorang saja, melainkan bersifat aturan masyarakat.
Kedua : Buruh Indonesia pada umumnya belum mempunyai pengertian atau kemampuan
untuk melindungi hak-haknya sendiri.
Berhubung dengan itu maka negaralah yang harus menjaga bahwa aturan-aturan dalam
Undang-undang ini dijalankan. Dalam pada itu sangsi hukuman perlu diadakan. Dengan adanya
ancaman hukuman ini, akan dicapai pula paksaan rohani dan pengaruh mendidik dari
Undang-undang ini terhadap yang berkepentingan.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL :
Pasal 1.
Ayat (1) Yang diatur dalam Undang-undang ini ialah pekerjaan yang dijalankan oleh buruh
untuk majikan dalam suatu hubungan kerja dengan menerima upah. Maka yang penting
ialah syarat, bahwa harus ada suatu hubungan kerja yang "zakelijk". Dalam arti kata upah
tidak hanya termaktub upah dengan uang, melainkan juga upah dengan barang atau
perbuatan imbangan, dan bentuk-bentuk upah lainnya. Berhubungan dengan itu misalnya
tidak dikenakan oleh, Undang-undang ini : pekerjaan yang dijalankan oleh pelajar-pelajar
sekolah pertukangan yang bersifat pendidikan, pekerjaan yang dijalankan oleh seseorang
untuk diri sendiri atau perusahaannya sendiri, pekerjaan yang dijalankan oleh seorang anak
untuk orang tuanya, oleh seorang isteri untuk suaminya, pekerjaan yang dijalankan oleh
anggauta-anggauta sekeluarga untuk perusahaan keluarga itu dan pekerjaan yang dijalankan
oleh seorang untuk tetangganya atas dasar tolong menolong menurut ada kebiasaan. Dalam
pasal ini diadakan 3 golongan orang.
Orang dewasa : yaitu orang laki-laki maupun perempuan, yang berumur 18 tahun keatas.
Orang muda : yaitu orang laki-laki maupun perempuan, yang berumur lebih dari 14 tahun tetapi
kurang dari 18 tahun. Dalam umur itu kemungkinan kemajuan badan dan kecerdasan sedang
berkembang. Berhubung dengan itu, perlu diadakan pembatasan kerja yang mengenai buruh
muda, untuk menjaga jangan sampai kemungkinan kemajuan itu terhalang.
Anak : ialah orang laki-laki maupun perempuan, yang berumur 14 tahun kebawah.
Penetapan batas umur ini berhubungan dengan larangan pekerjaan anak. Keadaan badan
anak umumnya masih lemah. Dipandang dari sudut pendidikan anak masih harus bersekolah
sampai umum 14 tahun, yang kira-kira sampai sekolah menengah atau sekolah kepandaian
istimewa 2 atau 3 tahun sesudahnya keluar dari sekolah rendah. Dalam penetapan batas umur dan larangan pekerjaan anak terkandung cita-cita, bahwa anak-anak kita umumnya
sekurang-kurangnya harus berpendidikan rendah ditambah dengan 2 atau 3 tahun sekolah
menengah atau sekolah kepandaian istimewa. Batas umur 14 tahun ini ialah sama dengan
yang telah ditetapkan dalam Converentie internasional.
Undang-undang dari Pemerintah Hindia Belanda dulu mengambil sebagai
batas umur 12 tahun untuk larangan pekerjaan anak. Undang-undang kerja ini dapat
dikatakan amat maju dalam hal itu.
Ayat (2) Dalam Undang-undang ini dianggap tidak perlu ditegaskan arti kata majikan, ialah
umumnya tiap-tiap orang pemberi pekerjaan (werkgever). Yang dianggap penting yalah,
perluasan arti yang termaktub dalam ayat ini berhubung dengan tanggung jawab tentang
berlakunya Undang-undang ini termaksud dalam pasal 17.
Ayat (3) Perluasan arti perusahaan dengan sifat umum yang dimaksudkan dengan
Undang-undang ini.
Pasal 2.
Ayat (1) Larangan pekerjaan anak didasarkan atas maksud untuk menjaga kesehatan dan
pendidikannya. Badan anak masih lemah untuk menjalankan pekerjaan apalagi yang berat.
Pekerjaan yang ringanpun merugikan kemungkinan kemajuan kecerdasan anak, karena
pekerjaan, apalagi yang sifatnya routine, menyebabkan tumpulnya kecerdasan anak. Selain
dari pada itu larangan pekerjaan anak dihubungkan dengan kewajiban belajarbagi anak-anak
sekarang di Indonesia belum ada kewajiban belajar. Maksudnya bersama-sama dengan
larangan pekerjaan anak diadakan tempat pendidikan yang cukup bagi anak.
Pasal 3.
Pasal ini memudahkan soal bukti dalam menuntut pelanggaran larangan pekerjaan
anak.
Pasal 4, 5 dan 6.
Pasal-pasal ini membatasi pekerjaan orang muda dengan melarang pekerjaan orang
muda yang mudah merusak atau berbahaya bagi kesehatannya. Orang muda masih harus
mengembangkan kemungkinan kemajuannya, jasmani dan rohani. Dalam pasal 4 ayat (2) dan
(3) diatas hal-hal yang dapat dikecualikan dari larangan pekerjaan orang muda pada malam
hari.
Pasal 7, 8 dan 9.
Pasal-pasal ini membatasi pekerjaan orang wanita atas pertimbangan, bahwa wanita
itu lemah badannya untuk menjaga kesehatan dan kesusilaannya.
Dikecualikan dari larangan pekerjaan wanita pada malam hari, pekerjaan yang menurut sifat,
tempat dan keadaan seharusnya dijalankan oleh orang wanita, misalnya pekerjaan dalam
rumah sakit.
Pasal 10.
Dalam pasal ini ditetapkan waktu kerja maximum dan waktu istirahat. Jikalau kita
mengingat masa pembangunan negara yang kita hadapi, dan ternyata mempergunakan
pekerjaan buruh dinegeri kita yang pada umumnya belum rasionil, maka penetapan waktu
kerja dan istirahat tadi menggambarkan dengan cukup jelas maksud pemerintah untuk
mempertinggi derajat penghidupan dan kecerdasan buruh.
Pasal 11.
Dalam pasal ini ditetapkan bahwa pada hari-hari raya yang akan ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah, buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan. Maksudnya : ialah, bahwa
buruh sepatutnya mendapat kesempatan juga untuk merayakan hari raya itu.
Kekecualian dalam pasal ini mengenai misalnya: pekerjaan dalam perusahaan
kereta-api, perusahaan pengangkutan lain, yang karena sifatnya harus berjalan terus.
Pasal 12.
Pasal ini merupakan kekecualian terhadap penetapan jam kerja, waktu istirahat dan
hari libur dalam pasal 10 dan 11, yaitu mengatur hal-hal dimana buruh terpaksa bekerja terus
untuk menghindarkan kekacauan atau gangguan dalam productie atau administrasi. Itupun
masih dengan pembatasan waktu kerja sampai 54 jam seminggu. Pekerjaan itu memang
berat, akan tetapi oleh karena tidak selalu dipergunakan dan biasanya hanya mengenai
pekerjaan masa (seizoensarbeid) maka dalam prakteknya aturan ini tidak akan membawa
akibat yang merugikan kesehatan buruh. Syarat-syarat untuk menjaga kesehatan dan
keselamatan buruh akan ditetapkan dalam peraturan Pemerintah misalnya yang mengenai
cara kerja giliran; pembatasan lamanya waktu kerja masa dan lain sebagainya.
Pasal 13.
Pasal ini menjamin waktu istirahat bagi buruh wanita pada waktu haidh dan pada
waktu sebelum dan sesudahnya melahirkan anak untuk menjaga kesehatan dan keselamatan
buruh wanita dan anaknya Pemerintah bermaksud akan menetapkan dalam Undang-undang
lainnya, bahwa buruh wanita tadi selama waktu istirahat itu tetap menerima upahnya penuh.
Dalam aturan ayat (4) terkandung maksud Pemerintah untuk menjamin kesempatan
bagi buruh untuk menjalankan kewajibannya terhadap anaknya. Dipikirkan juga oleh
Pemerintah misalnya kemungkinan mengadakan tempat penitipan dan pemeliharaan
anak-anak buruh wanita.
Pasal 14.
Pasal ini mengharuskan waktu istirahat tahunan selama dua minggu. Buruh kita
seharusnya diberi kesempatan untuk beristirahat yang akan dipergunakan untuk menengok
kaum keluarga atau untuk mengadakan perjalanan peninjauan dengan maksud untuk
menyegarkan badan dan pikiran serta meluaskan pemandangan. Dalam hal ini dipikirkan
kemung- kinan mengadakan tempat-tempat istirahat dan peninjauan bagi buruh. Aturan
dalam ayat (2) antara lain ditujukan kepada buruh yang bekerja dikepulauan lain dari pada
asalnya.
Pasal 15.
Ayat (1) dari pasal ini menjamin kesempatan bagi buruh untuk menjalankan kewajiban menurut agamanya. Aturan dalam ayat (2) ini memberikan kesempatan bagi buruh
untuk merayakan kemenangannya.
Pasal 16.
Pasal ini memuat aturan pangkal untuk aturan-aturan yang lebih khusus tentang
tempat kerja dan perumahan buruh yang disediakan oleh majikan. Aturan-aturan selanjutnya
yang khusus akan dikeluarkan dalam Peraturan Pemerintah. Menurut ayat (3) pegawai
pengawasan perburuhan yang ditunjuk oleh Menteri yang diserahi urusan Perburuhan berhak
untuk memberi perintah-perintah tentang penjagaan kebersihan dan kesehatan dalam tempat
kerja dan perusahaan buruh yang disediakan oleh majikan.
Pasal 17.
Pasal ini menetapkan siapa yang bertanggung jawab, bahwa aturan-aturan dalam
Undang-undang ini, dalam peraturan-peraturan dan perintah-perintah termaksud dalam pasal
16 ayat (3) di-indahkan. Jikalau majikan memenuhi kewajibannya, niscaya tidak akan
dijalankan pekerjaan yang bertentangan dengan aturan-aturan itu.
Pasal 18.
Pasal ini memuat aturan-aturan hukuman. Hal-hal yang dikenakan hukuman menurut
Undang-undang ini dianggap sebagai pelanggaran. Ancaman hukuman agak berat berhubung
dengan pentingnya tujuan Undangundang ini dan terbelakangnya perburuhan dan buruh di
negeri ini.
Pasal 19.
Pasal ini memberi peraturan tentang penuntutan dan penghukuman, jika majikan itu
suatu badan hukum.
Pasal 20.
Menyebut pegawai-pegawai yang khusus diwajibkan mengusut pelanggaran
aturan-aturan kerja dalam dan berhubung dengan Undang-undang ini.
Pasal 21.
Untuk menjamin supaya Undang-undang ini berlaku selekas-lekasnya dan untuk
menghindarkan kesulitankesulitan berhubung dengan keadaan sekarang, maka diadakan
macam-macam kemungkinan tentang cara menetapkan berlakunya.
Dalam Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan, bahwa Undang-undang ini berlaku
berangsur-angsur untuk pekerjaan atau macam pekerjaan yang tertentu.
Peraturan Pemerintah dapat juga menetapkan, bahwa aturan-aturan dalam
Undang-undang ini dapat berlaku sebagian atau seluruhnya.
Cara yang ketiga ialah mengadakan aturanaturan peralihan untuk mempermudah
berlakunya Undang-undang ini dengan mempersiapkan keadaan.
Dengan sendirinya usaha persiapan dan peralihan ini memerlukan kebijaksanaan yang sungguhsungguh. Maka dari itu kewajiban ini diserahkan kepada Peraturan Pemerintah
yang dengan cara yang lebih "lemas" dapat mengatasi kesulitan-kesulitan.

Undang Undang Hukum Perikatan

Undang Undang Hukum Perikatan

Definisi hukum perikatan
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu  terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak an kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan system terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,
inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian
Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen)
a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata
.Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
b. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).

Azas-azas dalam hukum perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
· Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
· Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum

Wanprestasi dan Akibat-akibatnya
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
Hapusnya Perikatan
Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :
Pembaharuan utang (inovatie)
Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
Ada tiga macam novasi yaitu :
1) Novasi obyektif, dimana perikatan yang telah ada diganti dengan perikatan lain.
2) Novasi subyektif pasif, dimana debiturnya diganti oleh debitur lain.
Perjumpaan utang (kompensasi)
Kompensasi adalah salah satu cara hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi terjadi apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa diantara kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata). Misalnya A berhutang sebesar Rp. 1.000.000,- dari B dan sebaliknya B berhutang Rp. 600.000,- kepada A. Kedua utang tersebut dikompensasikan untuk Rp. 600.000,- Sehingga A masih mempunyai utang Rp. 400.000,- kepada B.Untuk terjadinya kompensasi undang-undang menentukan oleh Pasal 1427KUH Perdata, yaitu utang tersebut :
– Kedua-duanya berpokok sejumlah uang atau.
- Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang yang dapat dihabiskan ialah barang yang dapat diganti.
- Kedua-keduanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.
Pembebasan utang
Undang-undang tidak memberikan definisi tentang pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu. Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada debitur. Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma- Cuma.
Menurut pasal 1439 KUH Perdata maka pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. Misalnya pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh kreditur merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.
Dengan pembebasan utang maka perikatan menjadi hapus. Jika pembebasan utang dilakukan oleh seorang yang tidak cakap untuk membuat perikatan, atau karena ada paksaan, kekeliruan atau penipuan, maka dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan : (1) pembebasan utang yang diberikan kepada debitur utama, membebaskan para penanggung utang, (2) pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang, tidak membebaskan debitur utama, (3) pembebasan yang diberikan kepada salah seorang penanggung utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.
Musnahnya barang yang terutang
Apabila benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan musnah tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka berarti telah terjadi suatu ”keadaan memaksa”at au force majeur, sehingga undang-undang perlu mengadakan pengaturan tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut. Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, maka untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang demikian itu hapuslah perikatannya asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya debitur, dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok pangkal pada Pasal 1237 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak perikatan dilakukan adalah atas tenggungan kreditur. Kalau kreditur lalai akan menyerahkannya maka semenjak kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur.
Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan.
Bidang kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan dapat dibatalkan.
Disebut batal demi hukum karena kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang. Misalnya persetujuan dengan causa tidak halal atau persetujuan jual beli atau hibah antara suami istri adalh batal demi hukum. Batal demi hukum berakibat bahwa perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah terjadi. Contoh : A menghadiahkan rumah kepada B dengan akta dibawah tangan, maka B tidak menjadi pemilik, karena perbuatan hukum tersebut adalah batal demi hukum. Dapat dibatalkan, baru mempunyai akibat setelah ada putusan hakim yang membatalkan perbuatan tersebut. Sebelu ada putusan, perbuatan hukum yang bersangkutan tetap berlaku. Contoh : A seorang tidak cakap untuk membuat perikatan telah menjual dan menyerahkan rumahnya kepada B dan kerenanya B menjadi pemilik. Akan tetapi kedudukan B belumlah pasti karena wali dari A atau A sendiri setelah cukup umur dapat mengajukan kepada hakim agar jual beli dan penyerahannya dibatalkan. Undang-undang menentukan bahwa perbuata hukum adalah batal demi hukum jika terjadi pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut bentuk perbuatan hukum, ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi pada umumnya adalah untuk melindungi ketertiban masyarakat. Sedangkan perbuatan hukum dapat dibatalkan, jika undang-undang ingin melindungi seseorang terhadap dirinya sendiri.
Syarat yang membatalkan
Yang dimaksud dengan syarat di sini adalah ketentun isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat mana jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal, sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut ”syarat batal”. Syarat batal pada asasnya selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dilahirkan. Perikatan yang batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan. Lain halnya dengan syarat batal yang dimaksudkan sebagai ketentuan isi perikatan, di sini justru dipenuhinya syarat batal itu, perjanjian menjadi batal dalam arti berakhir atau berhenti atau hapus. Tetapi akibatnya tidak sama dengan syarat batal yang bersifat obyektif. Dipenuhinya syarat batal, perikatan menjadi batal, dan pemulihan tidak berlaku surut, melainkan hanya terbatas pada sejak dipenuhinya syarat itu.
Kedaluwarsa
Menurut ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan demikian menurut ketentuan ini, lampau waktu tertentu seperti yang ditetapkan dalam undang-undang, maka perikatan hapus.
Dari ketentuan Pasal tersebut diatas dapat diketehui ada dua macam
lampau waktu, yaitu :
(1). Lampau waktu untuk memperolah hak milik atas suatu barang, disebut
”acquisitive prescription”;
(2). Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan
dari
tuntutan, disebut ”extinctive prescription”; Istilah ”lampau waktu” adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa belanda ”verjaring”. Ada juga terjemaha lain yaitu ”daluwarsa”. Kedua istilah terjemahan tersebut dapat dipakai, hanya saja istilah daluwarsa lebih singkat dan praktis.
http://www.scribd.com/doc/20976269/Definisi-Hukum-Perikatan
http://www.scribd.com/doc/16733475/Hukum-Perikatan

Hukum Perikatan

1.Pengertian perikatan.
Asal kata perikatan dari obligatio (latin), obligation (Perancis, Inggris)  Verbintenis (Belanda = ikatan atau hubungan). Selanjutnya Verbintenis mengandung banyak pengertian, di antaranya:
Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi di antara dua orang (pihak) atau lebih, yakni pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi, begitu juga sebaliknya.
Perjanjian adalah peristiwa di mana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lain untuk melaksanakan suatu hal. Dari perjanjian ini maka timbullah suatu peristiwa berupa hubungan hukum antara kedua belah pihak.
Intinya, hubungan perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan. Perjanjian merupakan salah satu sumber yang paling banyak menimbulkan perikatan, karena hukum perjanjian menganut sistim terbuka. Oleh karena itu, setiap anggota masyarakat bebas untuk mengadakan perjanjian.
2.  DASAR HUKUM PERIKATAN
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut:
  • Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
  • Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata
  • Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
3.Azas-azas Dalam Hukum Perikatan.
Azas-azas hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni :
  • Azas Kebebasan Berkontrak
Dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dengan demikian, cara ini dikatakan ‘sistem terbuka’, artinya bahwa dalam membuat perjanjian ini para pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjiannya dan sebagai undang-undang bagi mereka sendiri, dengan pembatasan perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan norma kesusilaan.

  • Azas Konsensualisme
Azas ini berarti, bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yaitu :
  1. Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri.
  2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian.
  3. Mengenai suatu hal tertentu.
  4. Suatu sebab yang halal.
4.  WANPRESTASI DAN AKIBAT – AKIBATNYA
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan, misalnya ia (alpa) atau ingkar janji.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1.       Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2.       Melaksanakan apa yand dijanjikannua, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan.
3.       Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
4.       Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1.Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tiga unsur, yakni
  1. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak.
  2. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
  3. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
            Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
            Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
5.  HAPUSNYA PERIKATAN
Perihal hapusnya perikatan
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1381 menyebutkan sepuluh macam cara hapusnya perikatan yaitu :
  1. Pembayaran
  2. Penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan.
  3. Pembaharuan utang (inovatie)
  4. Perjumpaan utang (kompensasi)
  5. Percampuran utang.
  6. Pembebasan utang.
  7. Musnahnya barang yang terutang
  8. Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan.
Adapun dua cara lainnya yang tidak diatur dalam Bab IV Buku III KUH Perdata adalah :
  1. Syarat yang membatalkan (diatur dalam Bab I).
  2. Kadaluwarsa (diatur dalam Buku IV, Bab 7).
Sumber:
http://tiarramon.wordpress.com
http://www.scribd.com/doc/16733475/Hukum-Perikatan
http://rischaandriana.blogspot.com/2012/03/hukum-perikatan.html

UU. No 4 Tahun 1992 Tentang Pemukiman

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 1992
TENTANG
PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. a. bahwa dalam pembangunan nasional yang pada hakekatnya adalah pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, perumahan dan permukiman
yang layak, sehat, aman, serasi dan teratur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan
merupakan faktor penting dalam peningkatan harkat dan martabat, mutu kehidupan serta
kesejahteraan rakyat dalam masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945;
b. b. bahwa dalam rangka peningkatan harkat dan martabat, mutu kehidupan dan kesejahteraan
tersebut bagi setiap keluarga Indonesia, pembangunan perumahan dan permukiman sebagai bagian
dari pembangunan nasional perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan secara terpadu, terarah,
berencana, dan berkesinambungan ;
c. c. bahwa peningkatan dan pengembangan pembangunan perumahan dan permukiman dengan
berbagai aspek permasalahannya perlu diupayakan sehingga merupakan satu kesatuan fungsional
dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan social budaya untuk mendukung ketahanan
nasional, mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup, dan meningkatkan kualitas kehidupan
manusia Indonesia dalam berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
d. d. Bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang Pokok-pokok Perumahan (Lembaran
Negara Tahun 1962 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2476) menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2611) sudah tidak
sesuai dengan kebutuhan dan keadaan, dan oleh karenanya dipandang perlu untuk mengatur kembali
ketentuan mengenai perumahan dan permukiman dalam undang-undang yang baru ;
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), dan pasal 33 Undang-Undang Dasar
1945 ;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. 1. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana
pembinaan keluarga ;
2. 2. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan ;
3. 3. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa
kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan ;
4. 4. Satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan
ukuran dengan penataan tanah dan ruang,, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur ;
5. 5. Prasarana lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan
lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya ;
6. 6. Sarana lingkungan adalah fasilitas penunjang, yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan
pengembangan kehidupan ekonomi, social dan budaya ;
7. 7. Utilitas umum adalah sarana penunjang untuk pelayanan lingkungan ;
8. 8. Kawasan siap bangun adalah sebidang tanah yang fisiknya telah dipersiapkan untuk
pembangunan perumahan dan permukiman skala besar yang terbagi dalam satu lingkungan siap
bangun lebih yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dengan lebih dahulu dilengkapi
dengan jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan sesuai dengan rencana tata ruang
lingkungan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II dan memenuhi persyaratan
pembakuan pelayanan prasarana dan sarana lingkungan, khusus untuk daerah khusus Ibu Kota
Jakarta, rencana tata ruang lingkungannya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota
Jakarta ;
9. 9. Lingkungan siap bangun adalah sebidang tanah yang merupakan bagian dari kawasan siap
bangun ataupun berdiri sendiri yang telah dipersiapkan dan dilengkapi dengan prasarana lingkungan
dan selain itu juga sesuai dengan persyaratan pembakuan tata lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dan pelayanan lingkungan untuk membangun kaveling tanah matang ;
10. 10. Kaveling tanah matang adalah sebidang tanah yang telah dipersiapkan sesuai dengan
persyaratan pembakuan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah dan rencana tata ruang
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian untuk membangun bangunan ;
11. 11. Konsolidasi tanah permukiman adalah upaya penataan kembali penguasaan, penggunaan, dan
pemilikan tanah oleh masyarakat pemilik tanah melalui usaha bersama untuk membangun
lingkungan siap bangun dan menyediakan kaveling tanah matang sesuai dengan rencana tata ruang
yang ditetapkan Pemerintah daerah Tingkat II, Khusus untuk Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta
rencana tata ruangnya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
Pasal 2.
(1) (1) Lingkup pengaturan Undang-undang ini meliputi penataan dan pengelolaan perumahan dan
permukiman, baik di daerah perkotaan maupun perdesaan, yang dilaksanakan secara terpadu dan
terkoordinasi.
(2) Lingkup pengaturan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang menyangkut penataan perumahan
meliputi kegiatan pembangunan baru, pemugaran, perbaikan, peremajaan, perluasan, pemeliharaan,
dan pemanfaatannya.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
Penataan perumahan dan permukiman berlandaskan pada asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan
kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup.
Pasal 4
Penataan perumahan dan permukiman bertujuan untuk :
a. a. memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, dalam rangka
peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat ;
b. b. mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi,
dan teratur ;
c. c. memberikan arah pada pertumbuhan wilayah dan persebaran penduduk yang rasional ;
d. d. menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan bidang-bidang lainnya.
BAB III
PERUMAHAN
Pasal 5
(1) (1) Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki
rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.
(2) (2) Setiap warga negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk berperan serta dalam
pembangunan perumahan dan permukiman.
Pasal 6
(1) (1) Kegiatan pembangunan rumah atau perumahan dilakukan oleh pemilik hak atas tanah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) (2) Pembangunan rumah atau perumahan oleh bukan pemilik hak atas tanah dapat dilakukan atas
persetujuan dari hak atas tanah dengan suatu perjanjian tertulis.
Pasal 7
(1) (1) Setiap orang atau badan yang membangun rumah atau perumahan wajib :
a. a. mengikuti persyaratan teknis, ekologis dan administratif ;
b. b. melakukan pemantauan lingkungan yang terkena dampak berdasarkan rencana pemantauan
lingkungan ;
c. c. melakukan pengelolaan lingkungan berdasarkan rencana pengelolaan lingkungan.
(2) (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 8
Setiap pemilik rumah atau yang dikuasakan wajib :
a. a. memanfaatkan rumah sebagaimana mestinya sesuai dengan fungsinya sebagai tempat tinggal atau
hunian ;
b. b. mengelola dan memelihara rumah sebagaimana mestinya.
Pasal 9
Pemerintah dan badan-badan sosial atau keagamaan dapat menyelenggarakan pembangunan perumahan
untuk memenuhi kebutuhan khusus dengan tetap memperhatikan ketentuan Undang-undang ini.
Pasal 10
Penghunian, pengelolaan dan pengalihan status dan hak atas rumah yang dikuasai Negara diatur dengan
peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) (1) Pemerintah melakukan pendataan rumah untuk menyusun kebijaksanaan di bidang perumahan
dan permukiman.
(2) (2) Tata cara pendataan rumah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 12
(1) (1) Penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik.
(2) (2) Penghunian sebagaimana dimaksud dalam (1), dilakukan baik dengan cara sewa-menyewa
maupun dengan cara bukan sewa-menyewa.
(3) (3) Penghunian rumah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan baik dengan cara sewa –
menyewa dilakukan dengan perjanjian tertulis, sedangkan penghunian rumah dengan cara bukan
sewa-menyewa dapat dilakukan dengan perjanjian tertulis.
(4) (4) Pihak penyewa wajib menaati berakhirnya batas waktu sesuai dengan perjanjian tertulis.
(5) (5) Dalam hal penyewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak bersedia meninggalkan
rumah yang disewa sesuai dengan batas waktu yang disepakati dalam perjanjian tertulis, penghunian
dinyatakan tidak sah atau tanpa hak dan pemilik rumah dapat meminta bantuan instansi pemerintah
yang berwenang untuk menertibkannya.
(6) (6) Sewa-menyewa rumah dengan perjanjian tidak tertulis atau tertulis tanpa batas waktu yang
telah berlangsung sebelum berlakunya undang-undang ini dinyatakan telah berakhir dalam waktu 3
(tiga) tahun setelah berlakunya undang-undang ini.
(7) (7) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4),
ayat (5), dan ayat (6), diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 13
(1) (1) Pemerintah mengendalikan harga sewa rumah yang dibangun dengan memperoleh
kemudahan dari pemerintah.
(2) (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 14
Sengketa yang berkaitan dengan pemilikan dan pemanfaatan rumah diselesaikan melalui badan peradilan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
Pasal 15
(1) (1) Pemilikan rumah dapat dijadikan jaminan utang.
(2) a. Pembebanan fidusia atas rumah dilakukan dengan akta otentik yang dibuat oleh notaris sesuai
dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku ;
b. Pembebanan hipotek atas rumah beserta tanah yang haknya dimiliki pihak yang sama
dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah sesuai dengan peraturan perundanganundangan
yang berlaku.
Pasal 16
(1) (1) Pemilikan rumah dapat beralih dan dialihkan dengan cara pewarisan atau dengan cara
pemindahan hak lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) (2) Pemindahan pemilikan rumah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan akta
otentik.
Pasal 17
Peralihan hak milik atas satuan rumah susun dilakukan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
BAB IV
PERMUKIMAN
Pasal 18
(1) (1) Pemenuhan kebutuhan permukiman diwujudkan melalui pembangunan kawasan
permukiman skala besar yang terencana secara menyeluruh dan terpadu dengan pelaksanaan yang
bertahap.
(2) (2) Pembangunan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditujukan untuk
:
a. a. menciptakan kawasan permukiman yang tersusun atas satuan-satuan lingkungan
permukiman ;
b. b. mengintegrasikan secara terpadu dan meningkatkan kualitas lingkungan perumahan yang
telah ada di dalam atau di sekitarnya.
(3) (3) Satuan-satuan lingkungan permukiman satu dengan yang lain saling dihubungkan oleh
jaringan transportasi sesuai dengan kebutuhan dengan kawasan lain yang memberikan berbagai
pelayanan dan kesempatan kerja.
(4) (4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dilaksanakan
sesuai rencana tata ruang wilayah perkotaan dan rencana tata ruang wilayah bukan perkotaan.
Pasal 19
(1) (1) Untuk mewujudkan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18,
pemerintah daerah menetapkan satu bagian atau lebih dari kawasan permukiman menurut rencana
tata ruang wilayah perkotaan dan rencana tata ruang wilayah bukan perkotaan yang telah memenuhi
persyaratan sebagai kawasan siap bangun.
(2) (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi penyediaan
:
a. a. rencana tata ruang yang rinci ;
b. b. data mengenai luas, batas, dan pemilikan tanah ;
c. c. Jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan.
(3) (3) Program pembangunan daerah dan program pembangunan sektor mengenai prasarana, sarana
lingkungan, dan utilitas umum sebagian diarahkan untuk mendukung terwujudnya kawasan siap
bangun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) (4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), diatur
dengan peraturan pemerintah.
Pasal 20
(1) (1) Pengelolaan kawasan siap bangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat
(2) dilakukan oleh pemerintah.
(2) (2) Penyelenggaraan pengelolaan kawasan siap bangun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara dan / atau badan lain yang dibentuk oleh pemerintah yang
ditugasi untuk itu.
(3) (3) Pembentukan badan lain serta penunjukan badan usaha milik negara dan / atau badan lain
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
(4) (4) Dalam menyelenggarakan pengelolaan kawasan siap bangun, badan usaha milik negara atau
badan lain sebagaimana dimaksud dalam (2) dan ayat (3) dapat bekerjasama dengan badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi dan badan-badan usaha swasta dibidang
pembangunan perumahan.
(5) (5) Persyaratan dan tata cara kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan
peraturan pemerintah.
(6) (6) Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak menghilangkan wewenang dan
tanggung jawab badan usaha milik negara atau badan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 21
(1) (1) Penyelenggaraan, pengelolaan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri yang bukan
dilakukan oleh masyarakat pemilik tanah, dilakukan oleh badan usaha dibidang pembangunan
perumahan yang ditunjuk pemerintah.
(2) (2) Tata cara penunjukkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 22
(1) (1) Di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun pemerintah memberikan
penyuluhan dan bimbingan, bantuan dan kemudahan kepada masyarakat pemilik tanah sehingga
bersedia dan mampu melakukan konsolidasi tanah dalam rangka penyediaan kaveling tanah matang.
(2) (2) Pelepasan hak atas tanah di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun hanya
dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan pemilik tanah yang bersangkutan.
(3) (3) Pelepasan hak atas tanah di lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri yang bukan hasil
konsolidasi tanah oleh masyarakat pemilik tanah, hanya dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan
dengan pemilik hak atas tanah.
(4) (4) Pelepasan hak atas tanah di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun yang
belum berwujud kaveling tanah matang, hanya dapat dilakukan kepada pemerintah melalui badanbadan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2).
(5) (5) Tata cara pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4), diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 23
Pembangunan perumahan yang dilakukan badan usaha di bidang pembangunan perumahan dilakukan
hanya di kawasan siap bangun atau di lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri.
Pasal 24
Dalam membangun lingkungan siap bangun selain memenuhi ketentuan pada Pasal 7, badan usaha di
bidang pembangunan perumahan wajib :
a. a. melakukan pematangan tanah, penataan penggunaan tanah, penataan penguasaan tanah, dan
penataan pemilikan tanah dalam rangka penyediaan kaveling tanah matang ;
b. b. membangun jaringan prasarana lingkungan mendahului kegiatan membangun rumah,
memelihara dan mengelolanya sampai dengan pengesahan dan penyerahannya kepada pemerintah
daerah ;
c. c. mengkoordinasikan penyelenggaraan persediaan utilitas umum ;
d. d. membantu masyarakat pemilik tanah yang tidak berkeinginan melepaskan hak atas tanah di
dalam atau sekitarnya dalam melakukan konsolidasi tanah ;
e. e. melakukan penghijauan lingkungan
f. f. menyediakan tanah untuk sarana lingkungan ;
g. g. membangun rumah.
Pasal 25
(1) (1) Pembangunan lingkungan siap bangun yang dilakukan masyarakat pemilik tanah melalui
konsolidasi tanah dengan memperhatikan ketentuan pada Pasal 7, dapat dilakukan secara bertahap
yang meliputi kegiatan-kegiatan :
a. a. pematangan tanah ;
b. b. penataan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah ;
c. c. penyediaan prasarana lingkungan ;
d. d. penghijauan lingkungan ;
e. e. pengadaan tanah untuk sarana lingkungan.
(2) (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 26
(1) (1) Badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang membangun lingkungan siap bangun
dilarang menjual kaveling tanah matang tanpa rumah.
(2) (2) Dengan memperhatikan kesatuan Pasal 24, sesuai dengan kebutuhan setempat, badan usaha
di bidang pembangunan perumahan yang membangun lingkungan siap bangun dapat menjual
kaveling tanah matang ukuran kecil dan sedang tanpa rumah.
(3) (3) Kaveling tanah matang ukuran kecil, sedang, menengah, dan besar hasil upaya konsolidasi
tanah milik masyarakat dapat diperjual belikan tanpa rumah.
Pasal 27
(1) (1) Pemerintah memberikan bimbingan, bantuan dan kemudahan kepada masyarakat baik dalam
tahap perencanaan maupun dalam tahap pelaksanaan, serta melakukan pengawasan dan
pengendalian untuk meningkatkan kualitas permukiman.
(2) (2) Peningkatan kualitas permukiman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa kegiatankegiatan
:
a. a. perbaikan atau pemugaran ;
b. b. peremajaan
c. c. pengelolaan dan pemeliharaan yang berkelanjutan.
(3) (3) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 28
(1) (1) Pemerintah daerah dapat menetapkan suatu lingkungan permukiman sebagai permukiman
kumuh yang tidak layak huni.
(2) (2) Pemerintah daerah bersama-sama masyarakat, langkah-langkah pelaksanaan program
peremajaan lingkungan kumuh untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat penghuni.
(3) (3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
peraturan pemerintah.
BAB V
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 29
(1) (1) Setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk
berperan serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman.
(2) (2) Pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan
secara perseorangan atau dalam bentuk usaha bersama.
BAB VI
PEMBINAAN
Pasal 30
(1) (1) Pemerintah melakukan pembinaan di bidang perumahan dan permukiman dalam bentuk
pengaturan dan pembimbingan, pemberian bantuan dan kemudahan, penelitian dan pengembangan,
perencanaan dan pelaksanaan, serta pengawasan dan pengendalian.
(2) (2) Pemerintah melakukan pembinaan badan usaha di bidang perumahan dan permukiman.
(3) (3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 31
Pembangunan perumahan dan permukiman diselenggarakan berdasarkan rencana tata ruang wilayah
perkotaan dan rencana tata ruang wilayah bukan perkotaan yang menyeluruh dan terpadu yang ditetapkan
oleh pemerintah daerah dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait serta rencana, program dan
prioritas pembangunan perumahan dan permukiman.
Pasal 32
(1) (1) Penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan dan permukiman diselenggarakan dengan
:
a. a. penggunaan tanah yang langsung dikuasai negara;
b. b. konsolidasi tanah oleh pemilik tanah ;
c. c. pelepasan hak atas tanah oleh pemilik tanah yang dilakukan sesuai dengan peraturan
perundangan-undangan yang berlaku.
(2) (2) Tata cara penggunaan tanah yang langsung dikuasai negara dan tata cara konsolidasi tanah
oleh pemilik tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) butir a dan b diatur dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 33
(1) (1) Untuk memberikan bantuan dan / atau kemudahan kepada masyarakat dalam membangun
rumah sendiri atau memiliki rumah, pemerintah melakukan upaya pemupukan dana.
(2) (2) Bantuan dan / atau kemudahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa kredit
perumahan.
Pasal 34
Pemerintah memberikan pembinaan agar penyelenggaraan pembangunan perumahan dan permukiman
selalu memanfaatkan teknik dan teknologi, industri bahan bangunan, jasa konstruksi, rekayasa dan rancang
bangun yang tepat guna dan serasi dengan lingkungan.
Pasal 35
(1) (1) Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang perumahan dan permukiman
kepada pemerintah daerah.
(2) (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan peraturan
pemerintah.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 36
(1) (1) Setiap orang atau badan yang sengaja melanggar ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 24,
dan Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan / atau
denda setinggi-tingginya Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) (2) Setiap orang karena kelalaiannya mengakibatkan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun
dan / atau dengan setinggi-tinginya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(3) (3) Setiap badan karena kelalaiannya mengakibatkan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 24, pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan
selama 1 (satu) tahun dan / atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(4) (4) Setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar dalam Pasal 12 ayat (1) dipidana dengan
dana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun dan / atau denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,00
(dua puluh juta rupiah).
Pasal 37
Setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan harga tertinggi sewa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun dan denda setinggi-tingginya
Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 38
Penerapan ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 tidak menghilangkan kewajibannya
untuk tetap memenuhi ketentuan Undang-undang ini.
Pasal 39
Jika kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 tidak dipenuhi oleh suatu badan usaha di bidang
pembangunan perumahan dan permukiman, maka izin usaha badan tersebut dicabut.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 40
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan pelaksanaan di bidang perumahan dan
permukiman yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini atau
belum diganti atau diubah berdasarkan Undang-undang ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1964 tentang Peraturan Pemerintah Pangganti
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang Pokok-pokok Perumahan (Lembaran Negara Tahun 1962
Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2476) menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun
1964 Nomor 2611) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 42
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan penerapannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

UU. No 24 Tahun 1992 Tentang Tata Ruang

Undang Undang No. 24 Tahun 1992
Tentang : Penataan Ruang
Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor : 24 TAHUN 1992 (24/1992)
Tanggal : 13 OKTOBER 1992 (JAKARTA)
Sumber : LN 1992/115; TLN NO. 3501
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang:
a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia dengan letak
dan kedudukan yang strategis sebagai negara kepulauan dengan
keanekaragaman ekosistemnya merupakan sumber daya alam yang
perlu disyukuri, dilindungi, dan dikelola untuk mewujudkan tujuan
pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila;
b. bahwa pengelolaan sumber daya alam yang beraneka ragam di
daratan, di lautan, dan di udara, perlu dilakukan secara terkoordinasi
dan terpadu dengan sumber daya manusia dan sumber daya buatan
dalam pola pembangunan yang berkelanjutan dengan
mengembangkan tata ruang dalam satu kesatuan tata lingkungan
yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan
lingkungan hidup sesuai dengan pembangunan berwawasan
lingkungan, yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional;
c. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pemanfaatan ruang belum menampung tuntutan perkembangan
pembangunan, sehingga perlu ditetapkan undang-undang tentang
penataan ruang;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-
Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2043);
3. Undang-undang 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah Di
Dacrah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3037);
4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982
Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
5. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pertahanan Kcamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran
Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3234), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1988 (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3368);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENATAAN RUANG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan
ruang udara sebagai. satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara
kelangsungan hidupnya.
2. Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik
direncanakan maupun tidak.
3. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
4. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
5. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.
6. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budi daya.
7. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi
ulama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup
sumber daya alam dan sumber daya buatan.
8. Kawasan budi daya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi
utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber
sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
9. Kawasan perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama
pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan
jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
10. Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama
bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
11. Kawasan tertentu adalah kawasan yang ditetapkan secara nasional
mempunyai nilai strategis yang penataan ruangnya diprioritaskan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Penataan ruang berasaskan:
a. pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya
guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan;
b. keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum.
Pasal 3
Penataan ruang bertujuan:
a. terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang
berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
b. terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung
dan kawasan budi daya;
c. tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk:
1) mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan
sejahtera;
2) mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya
alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber
daya manusia;
3) meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya buatan secara berdaya guna, berhasil guna, dan tepat
guna untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia;
4) mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta
menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan;
5) mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan
kcamanan.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 4
(1) Setiap orang berhak menikmati manfaat ruang termasuk pertambahan
nilai ruang sebagai akibat penataan ruang.
(2) Setiap orang berhak untuk:
a. mengetahui rencana tata ruang;
b. berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang;
c. memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang
dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan
yang sesuai dengan rencana tata ruang.
Pasal 5
(1) Setiap orang berkewajiban berperan serta dalam memelihara kualitas
ruang.
(2) Setiap orang berkewajiban menaati rencana tata ruang yang telah
ditetapkan.
Pasal 6
Ketentuan mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 dan Pasal 5 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PERENCANAAN, PEMANFAATAN, DAN PENGENDALIAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 7
(1) Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan meliputi kawasan
lindung dan kawasan budi daya.
(2) Penataan ruang berdasarkan aspek administratif meliputi ruang
wilayah Nasional, wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, dan wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
(3) Penataan ruang berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan
melipuli kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan
tertentu.
Pasal 8
(1) Penataan ruang wilayah Nasional, wilayah Propinsi Daerah Tingkat I,
dan wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dilakukan secara
terpadu dan tidak dipisah-pisahkan.
(2) Penataan ruang untuk kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah
Propinsi Daerah Tingkat I dikoordinasikan penyusunannya oleh Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) untuk ketentuan
dipadukan ke dalam Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I yang bersangkutan.
(3) Penataan ruang untuk kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dikoordinasikan
penyusunannya oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I untuk
kemudian dipadukan ke dalam Rencana Tata Ruang wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan.
Pasal 9
(1) Penataan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dan wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, di samping meliputi ruang
daratan, juga mencakup ruang lautan dan ruang udara sampai batas
tertentu yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Penataan ruang lautan dan penataan ruang udara di luar sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur secara terpusat dengan undangundang.
Pasal 10
(1) Penataan ruang kawasan perdesaan, penataan ruang kawasan
perkotaan, dan penataan ruang kawasan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) diselenggarakan sebagai bagian dari
penataan ruang wilayah Nasional atau wilayah Propinsi Daerah Tingkat
I atau wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
(2) Penataan ruang kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan
diselenggarakan untuk:
a. mencapai tata ruang kawasan perdesaan dan kawasan
perkotaan yang optimal, serasi, selaras, dan seimbang dalam
pengembangan kehidupan manusia;
b. meningkatkan fungsi kawasan perdesaan dan fungsi kawasan
perkotaan secara serasi, selaras, dan seimbang antara
perkcmbangan lingkungan dengan tata kehidupan masyarakat;
c. mengatur pemanfaatan ruang guna meningkatkan kemakmuran
rakyat dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif
terhadap lingkungan alam, lingkungan buatan, dan lingkungan
sosial.
(3) Penataan ruang kawasan tertentu diselenggarakan untuk:
a. mengembangkan tata ruang kawasan yang strategis dan
diprioritaskan dalam rangka penataan ruang wilayah Nasional
atau wilayah Propinsi Daerah Tingkat I atau wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II;
b. meningkatkan fungsi kawasan lindung dan fungsi kawasan budi
daya;
c. mengatur pemanfaatan ruang guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan.
(4) pengelolaan kawasan tertentu diselenggarakan oleh Pemerintah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 11
Penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, dan
Pasal 10 dilakukan dengan memperhatikan:
a. lingkungan alam, lingkungan buatan, lingkungan sosial, dan interaksi
antar lingkungan;
b. tahapan, pembiayaan, dan pengelolaan pembangunan, serta
pembinaan kemampuan kelembagaan.
Pasal 12
(1) Penataan ruang dilakukan oleh Pemerintah dengan peran serta
masyarakat.
(2) Tata cara dan bentuk peran serta masyarakat dalam penataan ruang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kedua
Perencanaan
Pasal 13
(1) Perencanaan tata ruang dilakukan melalui proses dan prosedur
penyusunan serta penetapan rencana tata ruang berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Rencana tata ruang ditinjau kembali dan atau disempurnakan sesuai
dengan jenis perencanaannya secara berkala.
(3) Peninjauan kembali dan atau penyempurnaan rencana tata ruang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan dengan tetap
memperhatikan ketentuan Pasal 24 ayat (3).
(4) Ketcntuan mengenai kriteria dan tata cara peninjauan kembali dan
atau penyempurnaan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 14
(1) Perencanaan tata ruang dilakukan dengan mempertimbangkan
a. keserasian, keselarasan, dan keseimbangan fungsi budi daya
dan fungsi lindung, dimensi waktu, teknologi, sosial budaya,
serta fungsi pertahanan keamanan;
b. aspek pengelolaan secara terpadu berbagai sumber daya, fungsi
dan estetika lingkungan, serta kualitas ruang.
(2) Perencanaan tata ruang mencakup perencanaan struktur dan pola
pemanfaatan ruang, yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata
guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya.
(3) Perencanaan tata ruang yang berkaitan dengan fungsi pertahanan
keamanan sebagai subsistem perencanaan tata ruang, tata cara
penyusunannya diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Pemanfaatan
Pasal 15
(1) Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program
pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya, yang didasarkan atas
rencana tata ruang.
(2) Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diselenggarakan secara bertahap sesuai dengan jangka waktu yang
ditetapkan dalam rencana tata ruang.
Pasal 16
(1) Dalam pemanfaatan ruang dikembangkan:
a. pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna
udara dan tata guna sumber daya alam lainnya sesuai dengan
asas penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2;
b. perangkat tingkat yang bersifat insentif dan disinsentif dengan
menhormati, hak penduduk sebagai warganegara.
(2) Ketentuan mengenai pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air,
tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) butir a, diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pengendalian
Pasal 17
Pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan
pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang.
Pasal 18
(1) Pengawasan terhadap pemanfaatan ruang diselenggarakan dalam
bentuk pelaporan, pemantauan, dan evaluasi.
(2) Penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang diselenggarakan dalam bentuk pengenaan sanksi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB V
RENCANA TATA RUANG
Pasal 19
(1) Rencana tata ruang dibedakan atas:
a. Rencana Tata Ruang wilayah Nasional;
b. Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I;
c. Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah
Tingkat II.
(2) Rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
digambarkan dalam peta wilayah negara Indonesia, peta wilayah
Propinsi Daerah Tingkat I, peta wilayah Kabupaten Dacrah Tingkat II,
dan peta wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II, yang tingkat
ketelitiannya diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 20
(1) Rencana Tata Ruang wilayah Nasional merupakan strategi dan arahan
kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah negara, yang meliputi:
a. tujuan nasional dari pemanfaatan ruang untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan;
b. struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah nasional;
c. kriteria dan pola pengelolaan kawasan lindung, kawasan budi
daya, dan kawasan tertentu.
(2) Rencana Tata Ruang wilayah Nasional berisi:
a. penetapan kawasan lindung, kawasan budi daya, dan kawasan
tertentu yang ditetapkan secara nasional;
b. norma dan kriteria pemanfaatan ruang;
c. pedoman pengendalian pemanfaatan ruang.
(3) Rencana Tata Ruang wilayah Nasional menjadi pedoman untuk:
a. perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah
nasional;
b. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan
perkembangan antara wilayah serta keserasian antar sektor;
c. pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah dan
atau masyarakat;
d. penataan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dan wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
(4) Jangka waktu Rencana Tata Ruang wilayah Nasional adalah 25 tahun.
(5) Rencana Tata Ruang wilayah Nasional ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 21
(1) Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Dacrah Tingkat I merupakan
penjabaran strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang
wilayah nasional ke dalam strategi dan struktur pemanfaatan ruang
wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, yang meliputi :
a. tujuan pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I
untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan
keamanan;
b. stuktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I;
c. pedoman pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Propinsi
Daerah Tingkat I.
(2) Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I berisi:
a. arahan pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budi daya;
b. arahan pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan,
dan kawasan tertentu;
c. arahan pengembangan kawasan permukiman, kehutanan,
pertanian, pertambangan, perindustrian, pariwisata, dan
kawasan lainnya;
d. arahan pengembangan sistem pusat permukiman perdesaan
dan perkotaan;
e. arahan pengembangan sistem prasarana wilayah yang meliputi
prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan
prasarana pengelolaan lingkungan;
f. arahan pengembangan kawasan yang diprioritaskan;
g. arahan kebijaksanaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna
udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya, serta
memperhatikan keterpaduan dengan sumber daya manusia dan
sumber daya buatan.
(3) Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I menjadi
pedoman untuk:
a. perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah
Propinsi Daerah Tingkat I;
b. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan
perkembangan antar wilayah Propinsi Daerah Tingkat I serta
keserasian antar sektor;
c. pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah dan
atau masyarakat;
d. penataan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat
II yang merupakan dasar dalam pengawasan terhadap perizinan
lokasi pembangunan.
(4) Jangka waktu Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I
adalah 15 tahun.
(5) Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I ditetapkan
dengan peraturan daerah.
Pasal 22
(1) Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
merupakan penjabaran Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I ke dalam strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, yang meliputi:
a. tujuan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya
Daerah Tingkat II untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat
dan pertahanan keamanan;
b. rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah
Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II;
c. rencana umum tata ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya
Daerah Tingkat II;
d. pedoman pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/
Kotamadya Daerah Tingkat II.
(2) Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
berisi:
a. pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budi daya;
b. pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan
kawasan tertentu;
c. sistem kegiatan pembangunan dan sistem permukiman
perdesaan dan perkotaan;
d. sistem prasarana transportasi, telekomunikasi, energi,
pengairan, prasarana pengelolaan lingkungan;
e. penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara,
dan penatagunaan sumber daya alam lainnya, serta
memperhatikan keterpaduan dengan sumber daya manusia dan
sumber daya buatan.
(3) Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
menjadi pedoman untuk:
a. perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II;
b. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan
perkembangan antar wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah
Tingkat II serta keserasian antar sektor;
c. penetapan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah dan
atau masyarakat di Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II;
d. penyusunan rencana rinci tata ruang di Kabupaten/Kotamadya
Daerah Tingkat II;
e. pelaksanaan pembangunan dalam memanfaatkan ruang bagi
kegiatan pembangunan.
(4) Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
menjadi dasar untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan.
(5) Jangka waktu Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya
Daerah Tingkat II adalah 10 tahun.
(6) Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
ditetapkan dengan peraturan daerah.
Pasal 23
(1) Rencana tata ruang kawasan perdesaan dan rencana tata ruang
kawasan perkotaan merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang
wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
(2) Rencana tata ruang kawasan tertentu dalam rangka penataan ruang
wilayah nasional merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dan atau
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(3) Ketentuan lebihlanjut mengenai penetapan kawasan, pedoman, tata
cara, dan lain-lain yang diperlukan bagi penyusunan rencana tata
ruang kawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
WEWENANG DAN PEMBINAAN
Pasal 24
(1) Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat yang pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Pelaksanaan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan penataan ruang;
b. mengatur tugas dan kewajiban instansi pemerintah dalam
penataan ruang.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilakukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang.
Pasal 25
Pemerintah menyelenggarakan pembinaan dengan:
a. mengumumkan dan menyebarluaskan rencana tata ruang kepada
masyarakat;
b. menumbuhkan serta mengembangkan kesadaran dan tanggung jawab
masyarakat melalui penyuluhan, bimbingan, pendidikan, dan
pelatihan.
Pasal 26
(1) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang
wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang ditetapkan
berdasarkan undang-undang ini dinyatakan batal oleh Kepala Daerah
yang bersangkutan.
(2) Apabila izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibuktikan
telah diperoleh dengan iktikad baik, terhadap kerugian yang timbul
sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat dimintakan penggantian
yang layak.
Pasal 27
(1) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I menyelenggarakan penataan ruang
wilayah Propinsi Daerah Tingkat 1.
(2) Untuk Daerah Khusus lbukota Jakarta, pelaksanaan penataan ruang
dilakukan Gubernur Kepala Daerah dengan memperhatikan
pertimbangan dari Departemen, Lembaga, dan Badan-badan
Pemerintah lainnya serta koordinasi dengan Daerah sekitarnya sesuai
dengan ketcntuan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1990 tentang
Susunan Pemerintahan Daerah Khusus lbukota Negara Republik
Indonesia Jakarta.
(3) Apabila dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) terdapat hal-hal yang tidak
dapat diselesaikan di wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, maka
diperlukan pertimbangan dan persetujuan Menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1).
Pasal 28
(1) Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II menyelenggarakan
penataan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
(2)
(2) Apabila dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) terdapat hal-hal yang tidak dapat
diselesaikan di wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II,
maka diperlukan pertimbangan dan persetujuan Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I.
Pasal 29
(1) Presiden menunjuk seorang Menteri yang bertugas mengkoordinasikan
penataan ruang.
(2) Tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk
pengendalian perubahan fungsi ruang suatu kawasan dan
pemanfaatannya yang berskala besar dan berdampak penting.
(3) Perubahan fungsi ruang suatu kawasan dan pemanfaatannya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan setelah
berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Penetapan mengenai perubahan fungsi ruang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) menjadi dasar dalam peninjauan kembali Rencana tata
Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dan Rencana Tata Ruang
wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 30
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini semua peraturan perundangundangan
yang berkaitan dengan penataan ruang yang telah ada tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan
Undang-undang ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka Ordonansi Pembentukan Kota
(Stadsvormingsordonnantie Staatsblad Tahun 1948 Nomor 168, Keputusan
Letnan Gubernur Jenderal tanggal 23 Juli 1948 no. 13) dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 32
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 1992
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
MOERDIONO
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 1992 TENTANG PENATAAN RUANG
II. UMUM
1. Ruang wilayah negara Indonesia sebagai wadah atau tempat bagi
manusia dan makhluk lainnya hidup, dan melakukan kegiatannya
merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia.
Sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang perlu disyukuri, dilindungi
dan dikelola, ruang wajib dikembangkan dan dilestarikan
pemanfaatannya secara optimal dan berkelanjutan demi kelangsungan
hidup yang berkualitas.
Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara memberikan keyakinan
bahwa kebahagiaan hidup dapat tercapai jika didasarkan atas
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan, baik dalam hidup
manusia sebagai pribadi, hubungan manusia dengan manusia,
hubungan manusia dengan alam, maupun hubungan manusia dengan
Tuhan Yang Maha Esa Keyakinan tersebut menjadi pedoman dalam
penataan ruang.
Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional
mewajibkan agar sumber daya alam dipergunakan untuk sebesarbesar
kemakmuran rakyat. Kemakmuran rakyat tersebut harus dapat
dinikmati, baik oleh generasi sekarang maupun generasi yang akan
datang.
Garis-garis Besar Haluan Negara menetapkan bahwa pembangunan
tidak hanya mengejar kemakmuran lahiriah ataupun kepuasan
batiniah, akan tetapi juga keseimbangan antara keduanya. Oleh
karena itu, ruang harus dimanfaatkan secara serasi, selaras, dan
seimbang dalam pembangunan yang berkelanjutan.
2. Wilayah Negara Republik Indonesia adalah seluruh wilayah negara
meliputi daratan, lautan, dan udara berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, termasuk laut dan landas kontinen
di sekitarnya, di mana Republik Indonesia memiliki hak berdaulat atau
kewenangan hukum sesuai dengan ketentuan Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Tahun 1982 tentang Hukum laut.
Laut sebagai salah satu sumber daya alam tidaklah mengenal batas
wilayah. Akan tetapi, kalau ruang dikaitkan dengan pengaturannya,
maka haruslah jelas batas, fungsi dan sistemnya dalam satu kesatuan.
Secara geografis letak dan kedudukan negara indonesia sebagai
negara kepulauan adalah sangat strategis, baik bagi kepentingan
nasional maupun internasional. Secara ekosistem kondisi alamiahnya
adalah sangat khas karena menempati posisi silang di khatulistiwa
antara dua benua dan dua samudera dengan cuaca, musim, dan iklim
tropisnya.
Dengan demikian, ruang wilayah negara Indonesia merupakan aset
besar bangsa Indonesia yang harus dimanfaatkan secara
terkoordinasi, terpadu, dan seefektif mungkin dengan memperhatikan
faktor-faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan,
serta kelestarian kemampuan lingkungan untuk menopang
pembangunan nasional demi tercapainya masyarakat yang adil dan
makmur. Dengan kata lain wawasan penataan ruang wilayah negara
Indonesia adalah Wawasan Nusantara.
3. Ruang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara beserta
sumber daya alam yang terkandung di dalamnya bagi kehidupan dan
penghidupan. Kegiatan manusia dan makhluk hidup lainnya
membutuhkan ruang sebagaimana lokasi berbagai pemanfaatan ruang
atau sebaliknya suatu ruang dapat mewadahi berbagai kegiatan,
sesuai dengan kondisi alam setempat dan teknologi yang diterapkan.
Meskipun suatu ruang tidak dihuni manusia seperti ruang hampa
udara, lapisan di bawah kerak bumi, kawah gunung berapi, tetapi
ruang tersebut mempunyai pengaruh terhadap kehidupan dan dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan dan kelangsungan hidup.
Disadari bahwa ketersediaan ruang itu sendiri tidak tak terbatas. Bila
pemanfaatan ruang tidak diatur dengan baik, kemungkinan besar
terdapat pemborosan manfaat ruang dan penurunan kualitas ruang.
Oleh karena itu, diperlukan penataan ruang untuk mengatur
pemanfaatannya berdasarkan besaran kegiatan, jenis kegiatan, fungsi
lokasi, kualitas ruang, dan estetika lingkungan.
4. Ruang wilayah negara sebagai suatu sumber daya alam terdiri dari
berbagai ruang wilayah sebagai suatu subsistem. Masing-masing
subsistem meliputi aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan
keamanan, dan kelembagaan dengan corak ragam dan daya dukung
yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Seluruh wilayah negara Indonesia terdiri dari wilayah Nasional,
wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, dan wilayah Kabupaten/Kotamadya
Daerah Tingkat II, yang masing-masing merupakan subsistem ruang
menurut batasan administrasi.
Di dalam subsistem tersebut terdapat sumber daya manusia dengan
berbagai macam kegiatan pemanfaatan sumber daya alam, sumber
daya buatan, dan tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda,
yang apabila tidak ditata secara baik dapat mendorong ke arah adanya
ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah serta ketidak
lestarian lingkungan hidup.
Penataan ruang yang didasarkan pada karakteristik dan daya
dukungnya serta didukung oleh teknologi yang sesuai, akan
meningkatkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan subsistem
yang berarti juga meningkatkan daya tampungnya.
Oleh karena pengelolaan subsistem yang satu akan berpengaruh pada
subsistem yang lain, yang pada akhirnya akan mempengaruhi sistem
ruang secara keseluruhan, pengaturan ruang menuntut
dikembangkannya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri utamanya.
Ini berarti perlu adanya suatu kebijaksanaan nasional penataan ruang
yang memadukan berbagai kebijaksanaan pemanfaatan ruang. Seiring
dengan maksud tersebut, maka pelaksanaan pembangunan, di tingkat
Pusat maupun di tingkat Daerah, harus sesuai dengan rencana tata
ruang yang telah ditetapkan. Dengan demikian, pemanfaatan ruang
tidak bertentangan dengan rencana tata ruang.
5. Penataan ruang sebagai proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu
kesatuan sistem yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya.
Untuk menjamin tercapainya tujuan penataan ruang diperlukan
peraturan perundang-undangan dalam satu kesatuan sistem yang
harus memberi dasar yang jelas, tegas dan menyeluruh guna
menjamin kepastian hukum bagi upaya pemanfaatan ruang. Untuk itu,
undang-undang tentang penataan ruang ini memiliki ciri sebagai
berikut:
a. Sederhana tetapi dapat mencakup kemungkinan perkembangan
pemanfaatan ruang pada masa depan sesuai dengan keadaan,
waktu, dan tempat.
b. Menjamin keterbukaan rencana tata ruang bagi masyarakat
sehingga dapat lebih mendorong peran serta masyarakat dalam
pemanfaatan ruang yang berkualitas dalam segala segi
pembangunan.
c. Mencakup semua aspek di bidang penataan ruang sebagai dasar
bagi pengaturan lebih lanjut yang perlu dituangkan dalam
bentuk peraturan tersendiri.
d. Mengandung sejumlah ketentuan proses dan prosedur
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang sebagai dasar bagi pengaturan lebih lanjut.
Selain itu, Undang-undang ini menjadi landasan untuk menilai dan
menyesuaikan peraturan perundang-undangan yang memuat
ketentuan tentang segi-segi pemanfaatan ruang yang telah berlaku
yaitu peraturan perundang-undangan mengenai perairan, pertanahan,
kehutanan, pertambangan, pembangunan daerah, perdesaan,
perkotaan, transmigrasi, perindustrian, perikanan, jalan, Landas
Kontinen Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, perumahan
dan permukiman, kepariwisataan, perhubungan, telekomunikasi, dan
sebagainya dengan memperhatikan di antaranya:
a. Undang-undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 1942) jo. Undang-undang Nomor 7
Tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur Ke
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pembentukan
Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur (Lembaran Negara Tahun
1976 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3084);
b. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara
Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3419;
c. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 35, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3475).
Dengan demikian, semua peraturan perundang-undangan yang
menyangkut aspek pemanfaatan ruang dapat terangkum dalam satu
sistem hukum penataan ruang Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Istilah yang dirumuskan dalam Pasal ini dimaksudkan agar terdapat
keseragaman pengertian atas Undang-undang ini serta peraturan
pelaksanaannya.
Angka 1
Ruang yang diatur dalam Undang-undang ini adalah ruang di
mana Republik Indonesia mempunyai hak yurisdiksi yang meliputi hak
berdaulat di wilayah editorial maupun kewenangan hukum di luar
wilayah editorial berdasarkan ketentuan konvensi yang bersangkutan
yang berkaitan dengan ruang lautan dan ruang udara.
Pengertian ruang mencakup ruang daratan, ruang lautan, dan ruang
udara.
Ruang daratan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah
permukaan daratan termasuk permukaan perairan darat dan sisi darat
dari garis laut terendah.
Ruang lautan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah
permukaan laut dimulai dari sisi laut garis laut terendah termasuk
dasar laut dan bagian bumi di bawahnya, di mana Republik Indonesia
mempunyai hak yurisdiksi.
Ruang udara adalah ruang yang terletak di atas ruang daratan
dan atau ruang lautan sekitar wilayah negara dan melekat pada bumi,
di mana Republik Indonesia mempunyai hak yurisdiksi.
Dalam Undang-undang ini, pengertian ruang udara (air-space) tidak
sama dengan pengertian ruang angkasa (outerspace). Ruang angkasa
beserta isinya seperti bulan dan benda-benda langit lainnya adalah
bagian dari antariksa, yang merupakan ruang di luar ruang udara.
Ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara merupakan satu
kesatuan ruang yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Ruang daratan,
ruang lautan, dan ruang udara mempunyai potensi yang dapat
dimanfaatkan sesuai dengan tingkat intensitas yang berbeda untuk
kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Potensi itu di
antaranya sebagai tempat melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan
pangan, industri, pertambangan, sebagai jalur perhubungan, sebagai
obyek wisata, sebagai sumber energi, atau sebagai tempat penelitian
dan percobaan.
Angka 2
Yang dimaksud dengan wujud struktural pemanfaatan ruang adalah
susunan unsur-unsur pembentuk ruang lingkungan alam, lingkungan
sosial, dan lingkungan buatan yang secara hirarkis dan struktural
berhubungan satu dengan yang lainnya membentuk tata ruang.
Wujud struktural pemanfaatan ruang di antaranya meliputi hirarki
pusat pelayanan seperti pusat kota, pusat lingkungan, pusat
pemerintahan; prasarana jalan seperti jalan arteri, jalan kolektor, dan
jalan lokal; rancang bangun kota seperti ketinggian bangunan, jarak
antar bangunan, garis langit, dan sebagainya.
Yang dimaksud dengan pola pemanfaatan ruang adalah bentuk
pemanfaatan ruang yang menggambarkan ukuran, fungsi, serta
karakter kegiatan manusia dan atau kegiatan alam.
Wujud pola pemanfaatan ruang di antaranya meliputi pola lokasi,
sebaran permukiman, tempat kerja, industri, dan pertanian, serta pola
penggunaan tanah perdesaan dan perkotaan.
Tata ruang yang dituju dengan penataan ruang ini adalah tata ruang
yang direncanakan. Tata ruang yang tidak direncanakan berupa tata
ruang yang terbentuk secara alamiah seperti wilayah aliran sungai,
danau, suaka alam, gua, gunung dan sebagainya.
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Wilayah yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif disebut wilayah pemerintahan. Wilayah yang batas dan
sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional disebut kawasan.
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Kelestarian lingkungan hidup mencakup pula sumber daya alam dan
sumber daya buatan yang mempunyai nilai sejarah dan budaya
bangsa.
Angka 8
Pembudidayaan kawasan memperhatikan asas konservasi.
Angka 9
Cukup jelas
Angka 10
Cukup jelas
Angka 11
Cukup jelas
Pasal 2
Yang dimaksud dengan semua kepentingan adalah bahwa penataan ruang
dapat menjamin seluruh kepentingan, yakni kepentingan pemerintah dan
masyarakat secara adil dengan memperhatikan golongan ekonomi lemah.
Yang dimaksud dengan terpadu adalah bahwa penataan ruang dianalisis dan
dirumuskan menjadi satu kesatuan dari berbagai kegiatan pemanfaatan
ruang baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Penataan ruang dilakukan
secara terpadu dan menyeluruh mencakup antara lain pertimbangan aspek
waktu, modal, optimasi, daya dukung lingkungan, daya tampung lingkungan,
dan geopolitik. Dalam mempertimbangkan aspek waktu, suatu perencanaan
tata ruang memperhatikan adanya aspek prakiraan, ruang lingkup wilayah
yang direncanakan, persepsi yang mengungkapkan berbagai keinginan serta
kebutuhan dan tujuan pemanfaatan ruang. Penataan ruang harus
diselenggarakan secara tertib sehingga memenuhi proses dan prosedur yang
berlaku secara teratur dan konsisten.
Yang dimaksud dengan berdaya guna dan berhasil guna adalah bahwa
penataan ruang harus dapat mewujudkan kualitas ruang yang sesuai dengan
potensi dan fungsi ruang.
Yang dimaksud dengan serasi, selaras, dan seimbang adalah bahwa
penataan ruang dapat menjamin terwujudnya keserasian, keselarasan, dan
keseimbangan struktur dan pola pemanfaatan ruang bagi persebaran
penduduk antar wilayah, pertumbuhan dan perkembangan antar sektor,
antar daerah, serta antara sektor dan daerah dalam satu kesatuan Wawasan
Nusantara.
Yang dimaksud dengan berkelanjutan adalah bahwa penataan ruang
menjamin kelestarian kemampuan daya dukung sumber daya alam dengan
memperhatikan kepentingan lahir dan batin antar generasi.
Pasal 3
Tujuan pengaturan penataan ruang dimaksudkan untuk mengatur hubungan
antara berbagai kegiatan dengan fungsi ruang guna tercapainya
pemanfaatan ruang yang berkualitas.
Yang dimaksud dengan pengaturan pemanfaatan kawasan lindung adalah
bentuk-bentuk pengaturan pemanfaatan ruang di kawasan lindung seperti
upaya konservasi, rehabilitasi, penelitian, obyek wisata lingkungan, dan lainlain
yang sejenis. Penataan ruang kawasan lindung bertujuan:
a. tercapainya tata ruang kawasan lindung secara optimal;
b. meningkatkan fungsi kawasan lindung.
Yang dimaksud dengan pengaturan pemanfaatan kawasan budi daya adalah
bentuk-bentuk pengaturan pemanfaatan ruang di kawasan budi daya seperti
upaya eksploitasi pertambangan, budi daya kehutanan, budi daya pertanian,
dan kegiatan pembangunan permukiman, industri, pariwisata, dan lain-lain
yang sejenis.
Penataan ruang kawasan budi daya bertujuan :
a. tercapainya tata ruang kawasan budi daya secara optimal;
b. meningkatkan fungsi kawasan budi daya.
Yang dimaksud dengan mewujudkan keterpaduan adalah mencegah
perbenturan kepentingan yang merugikan kegiatan pembangunan antar
sektor, daerah, dan masyarakat dalam penggunaan sumber daya alam
dengan memperhatikan sumber daya manusia, dan sumber daya buatan
melalui proses koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Pasal 4
Ayat (1)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan orang adalah orang
seorang, kelompok orang, atau badan hukum. Pemerintah
berkewajiban melindungi hak setiap orang untuk menikmati manfaat
ruang.
Ayat (2)
Hak setiap orang dalam penataan ruang dapat diwujudkan dalam
bentuk bahwa setiap orang dapat mengajukan usul, pemberi saran,
atau mengajukan keberatan kepada pemerintah dalam rangka
penataan ruang.
Penggantian yang layak diberikan kepada orang yang dirugikan selaku
pemegang hak atas tanah, hak pengelolaan sumber daya alam seperti
hutan, tambang, bahan galian, ikan, dan atau ruang, yang dapat
membuktikan bahwa secara langsung dirugikan sebagai akibat
pelaksanaan kegiatan pembangunan sesuai dengan rencana tata ruang
dan oleh perubahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang. Hak
tersebut didasarkan atas ketentuan perundang-undangan ataupun
atas hukum adat dan kebiasaan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan hak atas ruang adalah hak-hak yang diberikan
atas pemanfaatan ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara.
Hak atas pemanfaatan ruang daratan dapat berupa hak untuk memiliki
dan menempati satuan ruang di dalam bangunan sebagai tempat
tinggal; hak untuk melakukan kegiatan usaha seperti perkantoran,
perdagangan, tempat peristirahatan, dan atau melakukan kegiatan
sosial seperti tempat pertemuan di dalam satuan ruang bangunan
bertingkat; hak untuk membangun dan mengelola prasarana
transportasi seperti jalan layang; dan sebagainya.
Hak atas pemanfaatan ruang lautan dapat berupa hak untuk memiliki
dan menempati satuan ruang di dalam rumah terapung; hak untuk
melakukan kegiatan di dalam satuan ruang di dalam kota terapung
dan atau di dalam laut; hak untuk mengelola pariwisata bahari; hak
pemeliharaan taman laut; hak untuk melakukan angkutan laut; hak
untuk mengeksploitasi sumber alam di laut seperti penangkapan ikan,
penambangan lepas pantai; dan sebagainya. Hak atas pemanfaatan
ruang udara dapat berupa hak untuk menggunakan jalur udara bagi
lalu lintas pesawat terbang; hak untuk menggunakan media udara
bagi telekomunikasi; dan sebagainya.
Yang dimaksud dengan penggantian yang layak adalah bahwa nilai
atau besar penggantian itu tidak mengurangi tingkat kesejahteraan
orang yang bersangkutan.
Pasal 5
Ayat (1)
Kewajiban dalam memelihara kualitas ruang merupakan pencerminan
rasa tanggung jawab sosial setiap orang terhadap pemanfaatan ruang.
Kualitas ruang ditentukan oleh terwujudnya keserasian, keselarasan,
dan keseimbangan pemanfaatan ruang yang mengindahkan faktorfaktor
daya dukung lingkungan seperti struktur tanah, siklus hidrologi,
siklus udara; fungsi lingkungan seperti wilayah resapan air, konservasi
flora dan fauna; estetika lingkungan seperti bentang alam,
pertanaman, arsitektur bangunan; lokasi seperti jarak antara
perumahan dengan tempat kerja, jarak antara perumahan dengan
fasilitas umum; dan struktur seperti pusat lingkungan dalam
perumahan, pusat kegiatan dalam kawasan perkotaan.
Pengertian memelihara kualitas ruang mencakup pula memelihara
kualitas tata ruang yang direncanakan.
Ayat (2)
Penyesuaian pemanfaatan ruang, baik yang telah mempunyai izin
maupun tidak, wajib dilakukan sewaktu-waktu oleh yang bersangkutan
bila terjadi ketidaksesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata
ruang.
Pelaksanaan kewajiban menaati rencana tata ruang dilakukan sesuai
dengan kemampuan setiap orang yang terkena langsung akibat
pemanfaatan rencana tata ruang.
Bagi orang yang tidak mampu, maka sesuai haknya untuk
mendapatkan penggantian yang layak, kompensasi diatur melalui
pengaturan nilai tambah yang ditimbulkan sebagai akibat adanya
perubahan nilai ruang.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Termasuk dalam kawasan lindung adalah kawasan hutan lindung,
kawasan bergambut, kawasan resapan air, sempadan pantai,
sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan sekitar
mata air, kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan
lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman
hutan raya dan taman wisata alam, kawasan cagar budaya dan ilmu
pengetahuan, dan kawasan rawan bencana alam.
Termasuk dalam kawasan budi daya adalah kawasan hutan produksi,
kawasan pertanian, kawasan permukiman, kawasan industri, kawasan
berikat, kawasan pariwisata, kawasan tempat beribadah, kawasan
pendidikan, kawasan pertahanan keamanan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Susunan fungsi kawasan yang berwujud kawasan perdesaan meliputi
tempat permukiman perdesaan, tempat kegiatan pertanian, kegiatan
pemerintahan, kegiatan pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Susunan fungsi kawasan yang berwujud kawasan perkotaan meliputi
tempat permukiman perkotaan, tempat pemusatan dan
pendistribusian kegiatan bukan pertanian seperti kegiatan pelayanan
jasa pemerintahan, kegiatan pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Fungsi kawasan yang berwujud kawasan tertentu meliputi tempat
pengembangan kegiatan yang strategis yang ditentukan dengan
kriteria antara lain:
a. kegiatan di bidang yang bersangkutan baik secara sendirisendiri
maupun secara bersama-sama yang mempunyai
pengaruh yang besar terhadap upaya pengembangan tata ruang
di wilayah sekitarnya;
b. kegiatan di suatu bidang yang mempunyai dampak baik
terhadap kegiatan lain di bidang yang sejenis maupun terhadap
kegiatan di bidang lainnya;
c. kegiatan di bidang yang bersangkutan yang merupakan faktor
pendorong bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kegiatan dalam kawasan tertentu dapat berupa misalnya
kegiatan pembangunan skala besar untuk kegiatan industri
beserta sarana dan prasarananya, kegiatan pertahanan
keamanan beserta sarana dan prasarananya, kegiatan
pariwisata beserta sarana dan prasarananya, dan sebagainya.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah administratif Daerah
Tingkat I dapat berupa kawasan lindung dan kawasan budi daya
seperti wilayah aliran sungai, kawasan resapan air, wilayah
perbatasan, kawasan hutan lindung, taman nasional, serta kawasan
perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu.
Dalam hal kawasan tersebut di atas mencakup dua atau lebih
wilayah administrasi Daerah Tingkat I, maka koordinasi penyusunan
rencana tata ruang diselenggarakan oleh Menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Ayat (1).
Bagian dari masing-masing kawasan dipadukan ke dalam
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I yang
bersangkutan untuk ditetapkan dengan peraturan daerah.
Ayat (3)
Kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah administratif Daerah
Tingkat II dapat berupa kawasan lindung dan kawasan budi daya
seperti wilayah aliran sungai, kawasan resapan air, wilayah
perbatasan, kawasan hutan lindung, taman nasional, serta kawasan
perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu.
Kecuali kawasan tertentu, maka dalam hal kawasan tersebut di
atas mencakup dua atau lebih wilayah administrasi Daerah Tingkat II,
koordinasi penyusunan rencana tata ruang diselenggarakan oleh
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
Bagian dari masing-masing kawasan dipadukan ke dalam Rencana
Tata Ruang wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II yang
bersangkutan untuk ditetapkan dengan peraturan daerah.
Pasal 9
Ayat (1)
Penataan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang daratannya berbatasan
dengan laut perlu mencakup ruang lautan dalam batas tertentu.
Penataan ruang tersebut berkaitan dengan lokasi dan tempat kegiatan
masyarakat di daerah seperti tempat permukiman dan kegiatan
nelayan dan sebagainya. Penataan ruang wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I, wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II berkaitan
dengan ruang udara dalam batas tertentu. Penataan ruang tersebut
bersangkutan dengan wadah kegiatan masyarakat di daerah seperti
batas ketinggian bangunan, penggunaan jembatan penyeberangan
yang diperlebar untuk pertokoan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam kawasan perdesaan terdapat kawasan lindung dan kawasan
budidaya dengan kegiatan utama budidaya bukan pertanian.
Dalam kawasan perkotaan terdapat kawasan lindung dan kawasan
budi daya dengan kegiatan utama budidaya bukan pertanian.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan kawasan yang strategis adalah kawasan yang
secara nasional menyangkut hajat hidup orang banyak, baik ditinjau
dari sudut kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan,
dan pertahanan keamanan.
Kawasan tertentu dapat berada dalam satu kesatuan kawasan
perdesaan dan atau kawasan perkotaan.
Yang dimaksud dengan kawasan yang strategis dan diprioritaskan
adalah kawasan yang tingkat penanganannya diutamakan dalam
pelaksanaan pembangunan.
Sebagai contoh kawasan tertentu adalah kawasan strategis dalam
skala besar untuk kegiatan industri, pariwisata, suaka alam, wilayah
perbatasan, dan daerah latihan militer.
Yang dimaksud dengan perbatasan adalah perbatasan yang ada, di
daratan, di lautan dan di udara dengan negara tetangga.
Ayat (4)
Dalam hal perencanaan tata ruang kawasan tertentu, koordinasi
penyusunannya diselenggarakan oleh Menteri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 Ayat (1).
Pasal 11
Dengan memperhatikan aspek seperti tersebut dalam Pasal ini, penataan
ruang dilakukan untuk terciptanya upaya dalam pemanfaatan ruang secara
berdaya guna dan berhasil guna serta untuk terpeliharanya kelestarian
kemampuan lingkungan hidup.
Pasal 12
Ayat (1)
Peran serta masyarakat merupakan hal yang sangat penting dalam
penataan ruang karena pada akhirnya hasil penataan ruang adalah untuk
kepentingan seluruh lapisan masyarakat serta untuk tercapainya tujuan
penataan ruang.
Masyarakat berperan sebagai mitra pemerintah dalam penataan
ruang. Dalam menjalankan peranannya itu, masyarakat mendayagunakan
kemampuannya secara aktif sebagai sarana untuk melaksanakan peran serta
masyarakat dalam mencapai tujuan penataan ruang.
Peran serta masyarakat dalam penataan ruang dapat diselenggarakan
oleh orang seorang, kelompok orang, atau badan hukum.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Proses dan prosedur penyusunan Rencana Tata Ruang wilayah
Nasional, Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, Rencana
Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dilaksanakan
secara terarah dan terpadu.
Proses dan prosedur penetapan rencana tata ruang diselenggarakan
pada tingkat Nasional, Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II.
Dalam penyusunan dan penetapan rencana tata ruang, ditempuh
langkah-langkah kegiatan:
a. menentukan arah pengembangan yang akan dicapai dilihat dari
segi ekonomi, sosial, budaya, daya dukung dan daya tampung
lingkungan, serta fungsi pertahanan keamanan;
b. mengidentifikasikan berbagai potensi dan masalah
pembangunan dalam suatu wilayah perencanaan;
c. perumusan perencanaan tata ruang;
d. penetapan tata ruang,
Ayat (2 )
Rencana tata ruang disusun dengan perspektif menuju keadaan pada
masa depan yang diharapkan, bertitik tolak dari data, informasi, ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dapat dipakai, serta memperhatikan
keragaman wawasan kegiatan tiap sektor. Perkembangan masyarakat dan
lingkungan hidup berlangsung secara dinamis; ilmu pengetahuan dan
teknologi berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Oleh karena itu,
agar rencana tata ruang yang telah disusun itu tetap sesuai dengan tuntutan
pembangunan dan perkembangan keadaan, rencana tata ruang dapat
ditinjau kembali dan atau disempurnakan secara berkala.
Peninjauan kembali sebagaimana tersebut di atas bukan berarti
penyusunan rencana baru secara totalitas dan hanya dapat dilakukan atas
dasar Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Ayat (4) Pasal ini.
Jenis perencanaan dibedakan menurut hirarki administrasi
pemerintahan, kedalaman rencana, dan fungsi wilayah serta kawasan.
Ayat (3)
Ketentuan ini memberikan penegasan bahwa bagaimanapun bila peninjauan
kembali tersebut berakibat kepada penyempurnaan rencana tata ruang,
maka hak orang harus tetap dilindungi. Dalam penyempurnaan rencana tata
ruang tersebut dilaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 dan Pasal 12.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Pengaturan pemanfaatan ruang untuk fungsi pertahanan keamanan di
tingkat Rencana Tata Ruang wilayah Nasional, wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I, wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II merupakan satu
kesatuan proses dalam rangka mewujudkan keseimbangan kepentingan
kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan.
Aspek pengelolaan dalam ketentuan ini perlu mempertimbangkan
secara terpadu karena hal tersebut mempengaruhi dinamika pemanfaatan
ruang. Dinamika dalam pemanfaatan ruang tercermin antara lain dalam:
a. perubahan nilai sosial akibat rencana tata ruang;
b. perubahan nilai tanah dan sumber daya alam lainnya;
c. perubahan status hukum tanah akibat rencana tata ruang;
d. dampak terhadap lingkungan;
c. perkembangan serta kemampuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan struktur pemanfaatan ruang adalah susunan
dan tatanan komponen lingkungan alam hayati, lingkungan alam non-hayati,
lingkungan buatan, dan lingkungan sosial yang secara hirarkis dan fungsional
berhubungan satu sama lain membentuk tata ruang.
Yang dimaksud dengan pola pemanfaatan ruang adalah bentuk
hubungan antar berbagai aspek sumber daya manusia, sumber daya alam,
sumber daya buatan, sosial, budaya, ekonomi, teknologi, informasi,
administrasi, pertahanan keamanan; fungsi lindung, budi daya, dan estetika
lingkungan; dimensi ruang dan waktu.yang dalam kesatuan secara utuh
menyeluruh serta berkualitas membentuk tata ruang.
Perencanaan sturktur dan pola pemanfaatan ruang merupakan
kegiatan menyusun rencana tata ruang yang produknya menitikberatkan
kepada pengaturan hirarki pusat permukiman dan pusat pelayanan barang
dan jasa, serta keterkaitan antara pusat tersebut melalui, antara lain, sistem
prasarana. Sistem prasarana meliputi, antara lain, jaringan transportasi
seperti jalan raya, jalan kereta api, sungai yang dimanfaatkan sebagai
sarana angkutan, dan jaringan utilitas seperti: air bersih, air kotor,
pengatusan air hujan, jaringan telepon, jaringan gas, jaringan listrik dan
sistem pengelolaan sampah.
Tata guna tanah, tata guna air, dan tata guna udara merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari perencanaan struktur dan pola
pemanfaatan ruang, supaya keberlanjutan pemanfaatan tanah, air, udara,
dan sumber daya alam lainnya untuk kegiatan pembangunan dan
peningkatan kualitas tata ruang dapat terus berlangsung.
Sebagai contoh sumber daya alam lainnya adalah sumber daya alam
non-hayati seperti hutan, flora, fauna; dan sumber daya alam non-hayati
seperti tambang mineral, minyak bumi, energi angin, energi surya, potensi
meteorologi klimatologi, dan geofisika.
Ayat (3)
Kegiatan perencanaan tata ruang untuk fungsi pertahanan keamanan karena
sifatnya yang khusus memerlukan pengaturan tersendiri. Meskipun demikian,
penataan ruang untuk fungsi ini tetap merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari upaya keseluruhan penataan ruang wilayah negara.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pemanfaatan ruang adalah rangkaian program
kegiatan pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan ruang menurut
jangka waktu yang ditetapkan di dalam rencana tata ruang.
Yang dimaksud dengan pembiayaan program pemanfaatan ruang
adalah mobilisasi, prioritas, dan alokasi pendanaan yang diperlukan untuk
pelaksanaan pembangunan.
Ayat (2)
Pemanfaatan ruang diselenggarakan secara bertahap melalui
penyiapan program kegiatan pelaksanaan pembangunan yang berkaitan
dengan pemanfaatan ruang yang akan dilakukan oleh pemerintah dan
masyarakat, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama, sesuai dengan
rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui tahapan pembangunan
dengan memperhatikan sumber dan mobilisasi dana serta alokasi
pembiayaan program pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang.
Pasal 16
Ayat (1)
Pengertian pola pengelolaan tata guna tanah, pola pengelolaan tata
guna air, pola pengelolaan tata guna udara, dan pola pengelolaan tata guna
sumber daya alam lainnya adalah sama dengan penatagunaan tanah,
penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya
alam lainnya.
Yang dimaksud dengan penatagunaan tanah, penatagunaan air,
penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lainnya antara
lain adalah penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, air, udara,
dan sumber daya alam lainnya yang berwujud konsolidasi pemanfaatan
tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya melalui pengaturan
kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah, air, udara, dan
sumber daya alam lainnya sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan
masyarakat secara adil. Dalam pemanfaatan tanah, pemanfaatan air,
pemanfaatan udara, dan pemanfaatan sumber daya alam lainnya, perlu
diperhatikan faktor yang mempengaruhinya seperti faktor meteorologi
klimatologi, dan geofisika.
Yang dimaksud dengan perangkat insentif adalah pengaturan yang
bertujuan memberikan rangsangan terhadap kegiatan yang seiring dengan
tujuan rencana tata ruang.
Apabila dengan pengaturan akan diwujudkan insentif dalam rangka
pengembangan pemanfaatan ruang, maka melalui pengaturan itu dapat
diberikan kemudahan tertentu:
a. di bidang ekonomi melalui tata cara pemberian kompensasi,
imbalan, dan tata cara penyelenggaraan sewa ruang dan urun
saham; atau
b. di bidang fisik melalui pembangunan serta pengadaan sarana
dan prasarana seperti jalan, listrik, air minum, telepon dan
sebagainya untuk melayani pengembangan kawasan sesuai
dengan rencana tata ruang.
Yang dimaksud dengan perangkat disinsentif adalah pengaturan yang
bertujuan membatasi pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak
sejalan dengan rencana kawasan ruang, misalnya dalam bentuk:
a. pengenaan pajak yang tinggi; atau
b. ketidaktersediaan sarana dan prasarana.
Pelaksanaan insentif dan disinsentif tidak boleh mengurangi hak
penduduk sebagai warganegara. Hak penduduk sebagai warganegara
meliputi pengaturan atas harkat dan martabat yang sama, hak memperoleh,
dan mempertahankan ruang hidupnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 17
Agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang dilakukan
pengendalian melalui kegiatan pengawasan dan penertiban pemanfaatan
ruang.
Yang dimaksud dengan pengawasan dalam ketentuan ini adalah usaha untuk
menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang
ditetapkan dalam rencana tata ruang.
Yang dimaksud dengan penertiban dalam ketentuan ini adalah usaha untuk
mengambil tindakan agar pemanfaatan ruang yang direncanakan dapat
terwujud.
Di wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II penyelenggaraan
pengendalian pemanfaatan ruang selain melalui kegiatan pengawasan dan
penertiban juga meliputi mekanisme perizinan.
Penertiban adalah tindakan menertibkan yang dilakukan melalui pemeriksaan
dan penyelidikan atas semua pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan
terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Pasal 18
Ayat (1)
Bentuk pelaporan dalam ketentuan ini adalah berupa kegiatan
memberi informasi secara obyektif mengenai pemanfaatan ruang baik yang
sesuai maupun yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Bentuk pemantauan adalah usaha atau perbuatan mengamati,
mengawasi, dan memeriksa dengan cermat perubahan kualitas tata ruang
dan lingkungan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Bentuk evaluasi adalah usaha untuk menilai kemajuan kegiatan
pemanfaatan ruang dalam mencapai tujuan rencana tata ruang.
Ayat (2)
Bentuk sanksi adalah sanksi administrasi, sanksi perdata, dan sanksi
pidana.
Pengenaan sanksi dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang
sanksi baik pelanggaran maupun kejahatan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, meskipun Undangundang
ini tidak memuat Pasal tentang ketentuan pidana, sanksi terhadap
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang tetap dapat
dikenakan berdasarkan atas ketentuan-ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 19
Ayat (I)
Rencana tata ruang dibedakan menurut administrasi pemerintahan
karena kewenangan mengatur pemanfaatan ruang sesuai dengan pembagian
administrasi pemerintahan.
Ayat (2)
Rencana tata ruang dibedakan menurut tingkat ketelitiannya karena
informasi yang termuat dan skalanya berbeda.
Dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur peta wilayah
dapat ditentukan tingkat ketelitiannya dengan pedoman:
a. peta wilayah negara Indonesia dengan tingkat ketelitian minimal
berskala 1:1.000.000;
b. peta wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dengan tingkat ketelitian
minimal berskala 1:250.000;
c. peta wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II dengan tingkat
ketelitian minimal berskala 1:100.000 dan peta wilayah
Kotamadya Daerah Tingkat II dengan tingkat ketelitian minimal
berskala 1:50.000.
Dalam pengertian minimal untuk skala peta dikandung arti bahwa suatu
rencana tata ruang dapat digambarkan dalam peta wilayah berskala yang
lebih besar.
Rencana Tata Ruang wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II
memerlukan peta dengan tingkat ketelitian minimal berskala 1:50.000
karena faktor-faktor seperti kepadatan penduduk dan bangunan,
keanekaragaman kegiatan pembangunan, dan intensitas pemanfaatan ruang
di wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II lebih tinggi daripada di wilayah
Kabupaten Daerah Tingkat II.
Tingkat ketelitian tersebut di atas dapat berubah sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 20
Ayat (1)
Strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah negara
dirumuskan dengan mempertimbangkan kemampuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, data dan informasi, serta pembiayaan sebagaimana diatur dalam
Pasal 11 dan Pasal 14.
Rencana Tata Ruang wilayah Nasional yang berupa strategi nasional
pengembangan pola pemanfaatan ruang merupakan kebijaksanaan
pemerintah yang menetapkan rencana struktur Dan pola pemanfaatan ruang
nasional beserta kriteria dan pola penanganan kawasan yang harus
dilindungi, kawasan budi daya, dan kawasan lainnya.
Rencana Tata Ruang wilayah Nasional meliputi antara lain arahan
pengembangan sistem permukiman dalam skala nasional, jaringan prasarana
yang melayani kawasan produksi dan permukiman, penentuan wilayah yang
akan datang dalam skala nasional, termasuk penetapan kawasan tertentu.
Rencana Tata Ruang wilayah Nasional memperhatikan antara lain:
a. Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
b. pokok permasalahan dalam lingkup global dan internasional
serta pengkajian implikasi penataan ruang nasional terhadap
strategi tata pengembangan internasional dan regional,
c. pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas;
d. keselarasan aspirasi pembangunan sektoral dan pembangunan
daerah;
e. daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan penetapan kawasan lindung, kawasan budi
daya, dan kawasan tertentu secara nasional adalah bahwa pengaturan untuk
penetapan kawasan tersebut secara makro dan menyeluruh diselenggarakan
sebagai bagian dari strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang
wilayah negara.
Yang dimaksud dengan norma dan kriteria pemanfaatan ruang adalah
ukuran berupa kriteria lokasi dan standar teknik pemanfaatan ruang yang
ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan untuk terwujudnya
kualitas ruang dan tertibnya pemanfaatan ruang.
Ayat (3)
Dengan ketentuan ini dimaksudkan bahwa Rencana Tata Ruang
wilayah Nasional menjadi acuan bagi instansi pemerintah tingkat pusat dan
daerah serta masyarakat untuk mengarahkan lokasi dan memanfaatkan
ruang dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan
pemanfaatan ruang.
Hal ini berarti bahwa dalam pemanfaatan ruang untuk menyusun
rencana pembangunan, harus selalu diperhatikan Rencana Tata Ruang
wilayah Nasional.
Dalam rangka penyusunan Rencana Tata Ruang wilayah Nasional perlu
diselenggarakan pula antara lain:
a. Penataan ruang bagian wilayah nasional yang masing-masing
terdiri dari beberapa propinsi sebagai satu kesatuan untuk
mencapai tujuan pembangunan nasional dan mewujudkan
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan nasional;
b. Kesatuan Wawasan Nusantara melalui penyelenggaraan
kegiatan-kegiatan yang membentuk sistem keterkaitan antar
lokasi dan kawasan antara lain jaringan darat, laut, dan udara;
c. Penjabaran strategi ekonomi nasional terhadap strategi tata
ruang yang saling terkait dan berkesinambungan.
Rencana Tata Ruang wilayah Nasional selain menjadi pedoman untuk
pemanfaatan ruang daratan di tingkat daerah juga menjadi pedoman untuk
pemanfaatan ruang lautan dan ruang udara dalam batas-batas tertentu.
Ayat (4)
Seiring dengan Pola Pembangunan Jangka Panjang yang berjangka
waktu 25 tahun, Rencana Tata Ruang wilayah Nasional disusun untuk jangka
waktu yang sama dan dengan perspektif 25 tahun ke masa depan.
Meskipun demikian, rencana tata ruang wilayah Nasional dapat
ditinjau kembali dan atau disempurnakan dalam waktu kurang dari 25 tahun
apabila terjadi perubahan kebijaksanaan nasional yang mempengaruhi
pemanfaatan ruang akibat perkembangan teknologi dan keadaan yang
mendasar.
Peninjauan kembali dan atau penyempurnaan yang diperlukan untuk
mencapai strategi dan arahan kebijaksanaan yang telah ditetapkan pada 25
tahun dilakukan paling tidak 5 tahun sekali.
Rencana Tata Ruang wilayah Nasional dijabarkan ke dalam program
pemanfaatan ruang 5 tahunan sejalan dengan Rencana Pembangunan Lima
Tahun. Selanjutnya, program pemanfaatan ruang tersebut dijabarkan lagi ke
dalam kegiatan pembangunan tahunan sesuai dengan tahun anggaran.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Strategi dan struktur tata ruang wilayah Daerah Tingkat I dirumuskan
dengan mempertimbangkan kemampuan teknologi, data dan informasi, serta
pembiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 14.
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I memperhatikan
antara lain:
a. Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
b. pokok permasalahan kepentingan nasional;
c. pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas;
d. arah dan kebijaksanaan penataan ruang wilayah tingkat
nasional;
e. modal dasar pembangunan Daerah Tingkat I;
f. potensi dan tata guna sumber daya di wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I;
g. daya dukung dan daya tampung lingkungan;
h. Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I lainnya
yang berbatasan;
i. keselarasan dengan aspirasi pembangunan dan Rencana Tata
Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
Ayat (2)
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I serupa
Rencana Struktur Tata Ruang Propinsi Daerah Tingkat I adalah
kebijaksanaan yang memberikan arahan tata ruang untuk kawasan, dan
wilayah dalam skala propinsi yang akan diprioritaskan pengembangannya
dalam jangka waktu sesuai dengan rencana tata ruang.
Ayat (3)
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I menjadi acuan
bagi Pemerintah Daerah untuk mengarahkan lokasi dan memanfaatkan ruang
dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan
pemanfaatan ruang di daerah tersebut dan sekaligus menjadi dasar dalam
memberikan rekomendasi pengarahan pemanfaatan ruang. Dengan
demikian, maka pemanfaatan ruang untuk menyusun rencana pembangunan
di wilayah Propinsi Daerah Tingkat I harus tetap memperhatikan Rencana
Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I.
Ayat (4)
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I disusun dengan
perspektif ke masa depan dan untuk jangka waktu 15 tahun.
Apabila jangka waktu 15 tahun Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi
Daerah Tingkat I berakhir, maka dalam penyusunan rencana tata ruang yang
baru hak yang telah dimiliki orang yang jangka waktunya melebihi jangka
waktu rencana tata ruang tetap diakui seperti, Hak Guna Bangunan yang
jangka waktunya 20 tahun, Hak Guna Usaha yang jangka waktunya 30
tahun.
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dapat ditinjau
kembali dan atau disempurnakan dalam waktu kurang dari 15 tahun apabila
strategi pemanfaatan ruang dan struktur tata ruang wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I yang bersangkutan perlu ditinjau kembali dan atau disempurnakan
sebagai akibat dari penjabaran Rencana Tata Ruang wilayah Nasional.
Peninjauan kembali dan atau penyempurnaan yang diperlukan untuk
mencapai strategi dan struktur tata ruang yang ditetapkan pada 15 tahun
dilakukan paling tidak 5 tahun sekali.
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dijabarkan ke
dalam program pemanfaatan ruang 5 tahunan sejalan dengan Rencana
Pembangunan Lima Tahun Propinsi Daerah Tingkat I yang bersangkutan.
Program pemanfaatan ruang tersebut dijabarkan lagi ke dalam kegiatan
pembangunan tahunan sesuai dengan tahun anggaran.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dirumuskan dengan
mempertimbangkan kemampuan teknologi, data dan informasi, serta
pembiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal II dan Pasal 14.
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat
11 memperhatikan antara lain:
a. kepentingan nasional dan Daerah Tingkat I;
b. arah dan kebijaksanaan penataan ruang wilayah tingkat
Nasional dan Propinsi Daerah Tingkat I;
c. pokok permasalahan Daerah Tingkat II dalam mengutamakan
kepentingan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan
keamanan;
d. keselarasan dengan aspirasi masyarakat;
e. persediaan dan peruntukan tanah, air, udara dan sumber daya
alam lainnya;
f. daya dukung dan daya tampung lingkungan;
g. Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah
Tingkat II lainnya yang berbatasan.
Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
adalah kebijaksanaan yang menetapkan lokasi dari kawasan yang harus
dilindungi dan dibudidayakan serta wilayah yang akan diprioritaskan
pengembangannya dalam jangka waktu perencanaan.
Ayat (2)
Sistem prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan
pengelolaan lingkungan, penatagunaan air, penatagunaan tanah, dan
penatagunaan udara merupakan satu kesatuan dalam Rencana Tata Ruang
wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
Ayat (3)
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah untuk menetapkan lokasi
kegiatan pembangunan dalam menetapkan ruang serta dalam menyusun
program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang di daerah
tersebut dan sekaligus menjadi dasar dalam pemberian rekomendasi
pengarahan pemanfaatan ruang, sehingga pemanfaatan ruang dalam
pelaksanaan pembangunan selalu sesuai dengan Rencana Tata Ruang
wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II yang sudah ditetapkan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
disusun dengan perspektif ke masa depan dan untuk jangka waktu 10 tahun.
Apabila jangka waktu 10 tahun Rencana Tata Ruang wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II berakhir, maka dalam penyusunan
rencana tata ruang yang baru hak yang telah dimiliki orang dan masyarakat
yang jangka waktunya melebihi jangka waktu rencana tata ruang tetap
diakui seperti, Hak Guna Bangunan yang jangka waktunya 20 tahun, dan
Hak Guna Usaha yang jangka waktunya 30 tahun.
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
dapat ditinjau kembali dan atau disempurnakan dalam waktu kurang dari 10
tahun apabila strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan perlu ditinjau
kembali dan atau disempurnakan sebagai akibat dari penjabaran Rencana
Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dan dinamika pembangunan.
Peninjauan kembali dan atau penyempurnaan yang diperlukan untuk
mencapai strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang yang ditetapkan pada 10
tahun dilakukan minimal 5 tahun sekali.
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
dijabarkan ke dalam program pemanfaatan ruang 5 tahunan sejalan dengan
Rencana Pembangunan Lima Tahun Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
yang bersangkutan. Program pemanfaatan ruang tersebut dijabarkan lagi ke
dalam kegiatan pembangunan tahunan sesuai dengan tahun anggaran.
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kawasan tertentu yang dimaksud adalah kawasan yang strategis dan
diprioritaskan bagi kepentingan nasional berdasarkan pertimbangan kriteria
strategis seperti tersebut dalam ketentuan Pasal 10 Ayat (3). Nilai strategis
ditentukan antara lain oleh karena kegiatan yang berlangsung di dalam
kawasan:
a. mempunyai pengaruh yang besar terhadap upaya
pengembangan tata ruang wilayah sekitarnya;
b. mempunyai dampak penting, baik terhadap kegiatan yang
sejenis maupun terhadap kegiatan lainnya;
c. merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan pertahanan keamanan.
Dengan demikian, penataan ruang kawasan tertentu dianggap perlu untuk
memperoleh prioritas baik dalam hal penyusunan rencana tata ruang,
pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya, maupun
dalam hal pengendalian pemanfaatan ruang kawasan.
Pemilikan, penguasaan, dan pengelolaan kawasan tertentu dilakukan
oleh Pemerintah.
Ayat (3)
Dalam peraturan pemerintah tentang penetapan kawasan, pedoman
dan tata cara penyusunan rencana tata ruang untuk kawasan perdesaan
diatur antara lain kriteria dan prosedur penetapan kawasan perdesaan serta
pedoman dan tata cara penyusunan rencana tata ruang kawasan perdesaan
untuk keserasian perkembangan kegiatan pertanian di kawasan perdesaan
dalam menunjang pengembangan wilayah sekitarnya, mengendalikan
konversi pemanfaatan ruang yang berskala besar, dan mencegah kerusakan
lingkungan.
Dalam peraturan pemerintah tentang penetapan kawasan, pedoman
dan tata cara penyusunan rencana tata ruang untuk kawasan perkotaan
diatur antara lain kriteria dan prosedur penetapan kawasan perkotaan serta
pedoman dan tata cara penyusunan rencana tata ruang kawasan perkotaan
untuk keserasian perkembangan kawasan perkotaan secara administratif dan
fungsional dengan pengembangan wilayah sekitarnya serta daya dukung dan
daya tampung lingkungan.
Dalam peraturan pemerintah tentang penetapan kawasan, pedoman
dan tata cara penyusunan rencana tata ruang untuk kawasan tertentu diatur
antara lain kriteria dan prosedur penetapan kawasan yang secara nasional
mempunyai nilai strategis kriteria penentuan prioritas penataan ruang
kawasan, pedoman dan tata cara penyusunan rencana tata ruang kawasan
dalam kaitannya dengan besaran kawasan, lokasi, dan kegiatan yang
ditetapkan.
Penyusunan rencana tata ruang kawasan tertentu dikoordinasikan oleh
Menteri.
Arahan pengelolaan kawasan tertentu sebagai bagian dari Rencana
Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I diberikan oleh Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan.
Pengelolaan rencana tata ruang kawasan tertentu sebagai bagian dari
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang
bersangkutan.
Pasal 24
Ayat (1)
Pengertian menyelenggarakan adalah suatu pengertian yang
mengandung kewajiban dan wewenang dalam bidang hukum publik
sebagaimana perinciannya disebut dalam ayat (2) pasal ini.
Ayat (2)
Kelembagaan dalam penyelenggaraan, kewenangan, dan pembinaan
penataan ruang di tingkat nasional dilaksanakan oleh Menteri dan di
tingkat daerah dilaksanakan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
dan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II. Tugas dan
kewajiban instansi pemerintah dalam penataan ruang wilayah negara
antara lain adalah memadukan kegiatan antar instansi pemerintah dan
dengan masyarakat.
Ayat (3)
Pengertian menghormati hak yang dimiliki orang adalah suatu
pengertian yang mengandung arti menghargai, menjunjung tinggi,
mengakui, dan menaati peraturan yang berlaku terhadap hak yang
dimiliki orang.
Yang dimaksud dengan hak yang dimiliki orang adalah segala kepentingan
hukum yang diperoleh atau dimiliki berdasarkan peraturan perundangundangan,
hukum adat, atau kebiasaan yang berlaku. Kepentingan hukum
tersebut antara lain berupa pemilikan atau penguasaan tanah atas dasar
sesuatu hak yang diakui dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).
Pasal 25
Penyebarluasan informasi tentang penataan ruang kepada masyarakat dapat
dilakukan melalui media elektronik dan media cetak serta media komunikasi
lainnya.
Penataan ruang dilakukan secara terbuka yaitu bahwa setiap pihak dapat
memperoleh keterangan mengenai produk perencanaan tata ruang serta
proses yang ditempuh dalam penataan ruang, sehingga upaya memelihara
kualitas penataan ruang dan kualitas tata ruang dapat dilakukan secara lebih
terarah.
Dalam pembinaan penataan ruang ini Pemerintah mengambil langkah untuk
mencegah terjadinya kerugian pada masyarakat sebagai akibat perubahan
nilai ruang.
Pembinaan penataan ruang meliputi pembinaan kemampuan aparatur
pemerintah dan masyarakat dalam bidang penyusunan rencana tata ruang,
pemanfaatan ruang, pengendalian pemanfaatan ruang, dan pengendalian
perencanaan tata ruang oleh instansi yang diberi tugas dalam penataan
ruang.
Dalam tugas pembinaan ini termasuk pula kegiatan menyusun pedoman
teknis, proses, prosedur, standar dan kriteria teknis, serta rencana elemen
pembentuk struktur pemanfaatan ruang seperti jaringan jalan, jaringan air
minum, jaringan pengatusan, jaringan air kotor, jaringan penyediaan air
baku, jaringan telepon, jaringan listrik dalam kerangka tata ruang.
Pembinaan peran serta masyarakat dalam penataan ruang dan peningkatan
kualitas ruang dilakukan melalui upaya menumbuhkan dan mengembangkan
kesadaran dan tanggung jawabnya dengan program penyuluhan, bimbingan,
pendidikan, dan pelatihan secara berlanjut untuk setiap tingkatan
pemerintahan dan lapisan masyarakat.
Pasal 26
Ayat (1)
Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang berkaitan dengan lokasi,
kualitas ruang, dan tata bangunan yang sesuai dengan peraturan perundangundangan,
hukum adat, dan kebiasaan yang berlaku.
Yang dibatalkan dalam ayat ini adalah izin pemanfaatan ruang yang
tidak sesuai, baik yang telah ada sebelum maupun sesudah adanya Rencana
Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang
ditetapkan berdasarkan Undang-undang ini.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan iktikad baik adalah perbuatan pihak pemanfaat
ruang yang mempunyai bukti-bukti hukum sah berupa perizinan yang
berkaitan dengan pemanfaatan ruang dengan maksud tidak untuk
memperkaya diri sendiri secara berlebihan dan tidak merugikan pihak lain.
Penggantian yang layak pada pihak yang menderita kerugian sebagai
akibat pembatalan izin menjadi kewajiban bagi instansi pemerintah yang
berkaitan dengan pemanfaatan ruang yang bersangkutan.
Besarnya penggantian yang layak berarti tidak mengurangi tingkat
kesejahteraan pihak yang bersangkutan.
Apabila terjadi sengketa dalam penggantian oleh pemerintah,
penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Akibat kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan Rencana Tata
Ruang wilayah Kabupaten Kotamadya Daerah Tingkat II adalah berubahnya
fungsi ruang sehingga perlu dilakukan upaya pemulihan.
Pemulihan fungsi pemanfaatan ruang ini diselenggarakan untuk
merehabilitasi fungsi ruang tersebut. Pemulihan fungsi tersebut menjadi
kewajiban Pemerintah Daerah Tingkat II, sesuai dengan alokasi dana
sebagaimana tercantum dalam program pembangunan.
Pasal 27
Ayat (1)
Untuk menyelenggarakan penataan ruang di wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I menyelenggarakan
koordinasi penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I.
Ayat (2)
Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta menyusun rencana
tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang
di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan mempertimbangkan
rencana pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang dari
Departemen, Lembaga, dan Badan-badan Pemerintah lainnya.
Sebaliknya Departemen, Lembaga, dan Badan-badan Pemerintah
lainnya menyesuaikan perencanaannya dengan Rencana Tata Ruang
wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Untuk menyelenggarakan penataan ruang di wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, Bupati/ Walikotamadya
Kepala Daerah Tingkat II menyelenggarakan koordinasi penyusunan
rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Tugas koordinasi yang dimaksud meliputi keseluruhan penataan ruang
wilayah nasional, wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, dan wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
Ayat (2)
Perubahan fungsi ruang suatu kawasan termasuk di dalamnya
perubahan bentuk fisik (bentang alam) dan pemanfaatannya meliputi
perubahan sebagai akibat kejadian alam maupun perbuatan manusia.
Perubahan atau konversi fungsi ruang suatu kawasan yang berskala besar
seperti dari kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan, pertanian,
permukiman, pariwisata, dan sebagainya; kawasan pertanian menjadi
kawasan pertambangan, permukiman, pariwisata, industri, dan sebagainya;
kawasan perumahan menjadi kawasan industri, perdagangan, pariwisata,
dan sebagainya memerlukan pengkajian dan penilaian atas perubahan fungsi
ruang tersebut secara lintas sektoral, lintas daerah, dan terpusat,
dikoordinasikan oleh Menteri.
Perubahan pemanfaatan ruang yang perlu dikoordinasikan, antara lain,
meliputi perubahan ruang lautan menjadi ruang daratan karena reklamasi di
daerah pasang surut, perubahan bentang alam perbukitan karena
penambangan bahan galian golongan C.
Perubahan fungsi ruang yang terjadi setelah ditetapkan Rencana Tata Ruang
wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II disesuaikan ke dalam
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
melalui peraturan daerah yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 30
Dengan berlakunya Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan
yang telah ada yang berkaitan dengan penataan ruang yang ketentuanketentuanya
mengandung Pasal yang tidak sesuai perlu diganti; sedangkan
ketentuan-ketentuan yang sesuai dan sejalan perlu diatur dalam peraturan
pelaksanaan sebagai penjabaran ketentuan Undang-undang ini.
Sebagai contoh, ketentuan Pasal 14 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) adalah sejalan dengan
ketentuan dalam Undang-undang ini. Peraturan daerah yang dimaksudkan
dalam Undang-undang ini adalah sama dengan peraturan daerah yang
dimaksud dalam Pasal 14 UUPA. Untuk pedoman pelaksanaannya seperti
dimaksud dalam Undang-undang ini dibuat peraturan pemerintah tentang
penatagunaan tanah sebagai subsistem penataan ruang.
Pada prinsipnya, secara hirarkis baik menurut jenjang administrasi
pemerintahan maupun jenis perencanaan, rencana tata ruang harus ada
mulai dari tingkat yang sangat umum sampai dengan tingkat yang terinci,
dan penyusunannya dilakukan secara berurutan. Akan tetapi, untuk
menghindari kevakuman, penataan ruang yang lebih rendah baik menurut
jenjang administrasi pemerintahan wilayah maupun jenis perencanaannya,
dapat berlaku sambil menunggu penataan ruang di atasnya, sepanjang
penyelenggaraannya tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undangundang
ini.
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
______________________________________