Minggu, 20 November 2011

Profil Arsitek Terkenal Di Dunia



Philip Cortelyou Johnson atau lebih dikenal dengan nama Philip Johnson adalah salah satu arsitek dari Amerika yang sangat berpengaruh dalam dunia Arsitektur. Dengan kacamatanya yang tebal, berbingkai bundar, Philip Johnson adalah tokoh yang paling dikenal di dunia arsitektur Amerika selama beberapa dekade.

Philip Johnson (8 Juli 1906 - 25 Januari 2005) lahir di Cleveland, Ohio. Pada awalnya, Philip Johnson bukanlah seorang arsitek, dia bekerja sebagai kritikus, penulis, sejarawan dan seorang direktur museum. Dia meraih gelar A.B. dalam sejarah arsitektur dari Universitas Harvard yang tertarik pada Sejarah dan Filsafat, terutama pada karya Pra-Sokrates.

Pada tahun 1949, setelah beberapa tahun sebagai direktur utama Museum of Modern Art di Departemen Arsitektur, dia merancang rumah tinggal untuk dirinya di New Canaan, Conecticut untuk tesis meraih gelar masternya. Rumah tinggal tersebut sekarang lebih dikenal dengan nama Glass House.

Pada tahun 1928, Philip Johnson bertemu dengan arsitek Ludwig Mies van der Rohe, yang pada saat itu sedang merancang German Pavilion untuk Barcelona Internasional Exposition 1929. Pertemuan dengan Ludwig Mies van der Rohe inilah yang akhirnya membuat jalan Philip Johnson dalam dunia arsitektur. Pada awalnya bahkan Philip Johnson pernah menugaskan Ludwig Mies van der Rohe untuk mendesain apartemennya di New York. Kemudian dia berkolaborasi dengan Mies mendesain bangunan tinggi terbaik yakni Gedung Seagram, New York.

Pada tahun 50an merevisi pandangan sebelumnya, yang mencapai puncaknya sebagai salah satu bangunan yang paling kontroversial dalam karirnya, yakni Kantor Pusat AT & T di New York dengan apa yang disebut dengan "Chippendale"

Philip Johnson bergabung dengan John Burgee dari tahun 1967 sampai 1987. Dalam 20 tahun ini tidak ada karya yang fenomenal. Tahun 1989, Philip Johnson lebih banyak mengabdikan waktunya untuk proyek-proyeknya sendiri, walaupun dia masih semi-pensiun dari John Burgee Architects. Desain yang paling terakhir adalah untuk Sekolah Seni Rupa Seton Hill College di Greensburg, Pennsylvania.

Beberapa karya dari Philip Johnson adalah:
  • Johnson House at Cambridge, "The Arch Street House", Cambridge, Massachusetts (1942–1943)
  • Booth (Damora) House, "The Booth House", Bedford Village, New York (1946)
  • Johnson House, "The Glass House", New Canaan, Connecticut (1949)
  • John de Menil House, Houston, Texas (1950)
  • Rockefeller Guest House for Abby Aldrich Rockefeller, New York City, New York (1950)
  • Seagram Building, New York City, New York (in collaboration with Mies van der Rohe; 1956)
  • The Four Seasons Restaurant, New York City, New York (1959)
  • Expansion of St. Anselm's Abbey, Washington, D.C. (1960)
  • Museum of Art at Munson-Williams-Proctor Arts Institute, Utica, New York (1960)
  • Abby Aldrich Rockefeller Sculpture Garden at The Museum of Modern Art, New York City, New York
  • Sheldon Museum of Art, Lincoln, Nebraska (1963)
  • New York State Theater (renamed David H. Koch Theater) at Lincoln Center, New York City, New York (with Richard Foster; 1964)
  • Amon Carter Museum, Fort Worth, Texas (1961; also expansion in 2001)
  • New York State Pavilion for the 1964 New York World's Fair, New York City, New York (1964)
  • Kreeger Museum, Washington, D.C. (with Richard Foster; 1967)
  • Main campus mall at the University of Saint Thomas, Houston, Texas
  • Elmer Holmes Bobst Library at New York University, New York City, New York (1967–1973)
  • John Fitzgerald Kennedy Memorial, Dallas, Texas (1970)[6]
  • IDS Center, Minneapolis, Minnesota (1972)
  • Art Museum of South Texas, Corpus Christi, Texas (1972)
  • Johnson Building at the Boston Public Library, Boston, Massachusetts (1973)
  • Fort Worth Water Gardens, Fort Worth, Texas (1974)
  • Pennzoil Place, Houston, Texas (1975)
  • Dorothy and Dexter Baker Center for the Arts at Muhlenberg College, Allentown, Pennsylvania (1976)
  • Thanks-Giving Square, Dallas, Texas (1976)
  • 101 California Street, San Francisco, California (Johnson/Burgee Architects; 1979–1982)
  • Neuberger Museum of Art at the State University of New York at Purchase, Purchase, New York
  • Crystal Cathedral, Garden Grove, California (1980)
  • Tata Theatre, National Centre for the Performing Arts, Mumbai, India (1980)
  • Metro-Dade Cultural Center, Miami, Florida (1982)
  • Chapel of St. Basil and the Academic Mall at the University of St. Thomas, Houston, Texas
  • Republic Bank Center (renamed Bank of America Center), Houston, Texas (1983)
  • Transco Tower (renamed Williams Tower), Houston, Texas (1983)
  • Cleveland Play House, Cleveland, Ohio (extension; 1983)
  • Wells Fargo Center, Denver, Colorado (1983)
  • PPG Place, Pittsburgh, Pennsylvania (1984)
  • The Gerald D. Hines College of Architecture, University of Houston, Houston, Texas (1985)
  • Lipstick Building, New York City, New York (1986)
  • Comerica Bank Tower, Dallas, Texas (1987)
  • 190 South LaSalle Street, Chicago, Illinois (John Burgee Architects, Philip Johnson Consultant; 1987)
  • Gate of Europe, Madrid, Spain (John Burgee Architects, Philip Johnson Consultant; 1989–1996)
  • 191 Peachtree Tower, Atlanta, Georgia (John Burgee Architects, Philip Johnson Consultant; 1990)
  • The Museum of Television & Radio (renamed Paley Center for Media), New York City, New York (1991)
  • Chapel of St. Basil at the University of St. Thomas, Houston, Texas (with John Manley, Architect; 1992)
  • Science and Engineering Library at Ohio State University, Columbus, Ohio (1992)
  • AEGON Center, Louisville, Kentucky (John Burgee Architects, Philip Johnson Consultant; 1993)
  • One Detroit Center, Detroit, Michigan (John Burgee Architects, Philip Johnson Consultant; 1993)
  • Visitor's Pavilion, New Canaan, Connecticut (1994)
  • Turning Point at Case Western Reserve University, Cleveland, Ohio (1996)
  • Philip-Johnson-Haus, Berlin, Germany (1997)
  • First Union Plaza, Boca Raton, Florida (2000)
  • Interfaith Peace Chapel on the Cathedral of Hope campus, Dallas, Texas (2010)























Kengo Kuma lahir di Kanagawa, Jepang. Setelah menyelesaikan studi di bidang arsitektur di University of Tokyo pada tahun 1979, dia bekerja di Nihon Sekkei dan TODA Corporation. Kengo Kuma kemudian melanjutkan studinya di Columbia University dari tahun 1985 - 1986. Pada tahun 1990 dia mendirikan sebuah konsultan arsitektur bernama "Kengo Kuma & Associates". Pada tahun 2008, Kengo Kuma meraih gelar Ph.D dari Keio University, dan dia sekarang menjadi seorang Guru Besar di Keio University. Tujuan utama dari Kengo Kuma adalah "untuk mengembalikan bentuk bangunan tradisional Jepang" dan bisa berinterpretasi dengan abad 21.

Pernyataan yang paling dikenal dari Kengo Kuma adalah "my ulitimate aim is to "erase" architecture, because i believe that a building should become one with its surroundings. This is how i have always felt; this is how i will continue to feel. how, then, can architecture be made to disappear?". Dalam pernyataannya tersebut dia menyatakan bahwa karya arsitekturnya akan selalu menjadi satu dengan lingkungan.

Beberapa karya yang telah dihasilkan oleh Kengo Kuma adalah:
  • M2 Building (1989 - 1991)
  • Kiro-San observatory (1994)
  • Water/Glass (1995)
  • River/Fileter (1996)
  • Noh Stage In The Forest (1996)
  • Memorial Park (1997)
  • Kitakami Canal Museum (1999)
  • Stone Museum (2000)
  • Museum of Ando Hiroshige (2000)
  • Takayanagi Community Center (2000)
  • Nasu History Museum (2000)
  • Takasaki Parking Building (2001)
  • Ginzan Onsen Hot Spring Bath House (2001)
  • Plastic House (2002)
  • Great (Bamboo) Wall House, Beijing (2002)
  • Baiso-In Temple (2003)
  • Paint House Building (2003)
  • Forest/FLoor (2003)
  • Soba Restaurant at Togakushi Shrine (2003)
  • Horai Onsen Bath House (2003)
  • Shibuya Station, Facade Renovation (2003)
  • One Omotesando (2003)
  • LVMH Group Japan headquarters (2003)
  • Masanari Murai Art Museum (2004)
  • Shinonome Apartment Building (2004)
  • Suntory's Tokyo office building
  • Kodan Apartments (2005)
  • Water Block House (2007)


Referensi :
  • Botond, Bognar, Kengo Kuma Selected Works, New York, Princeton Architectural Press, 2005

Jumat, 11 November 2011

Bahan Bangunan Ramah Lingkungan

Bahan Bangunan Rumah Ramah Lingkungan

          Bangunan diperkirakan menyumbang 40 % lebih dari seluruh total emisi karbon (CO2) di dunia ini.
Ini semua dikarenakan bangunan perlu energi dalam pembangunannya, penyediaan bahan bangunan sampai kebutuhan listrik ketika bangunan sudah digunakan.

Rumah Seng - Arsitek Putu Mahendra
          Kita dapat menurunkan kadar emisi karbon yang dilepas bangunan dengan mendesain "green building" atau bangunan hijau. Demikian pula untuk rumah tinggal, semakin "green" rumah maka semakin kecil pula jejak karbon yang dilepas dari rumah tersebut. Artinya bahwa rumah tersebut disebut "ramah lingkungan". Rumah  ramah lingkungan selain ramah terhadap lingkungan juga jelas akan menjaga kantong kita dari pengeluaran yang berlebihan.

          Rumah ramah lingkungan bisa direncanakan sejak awal desain rumah dan pembangunan rumah dengan cara memilih dan menggunakan bahan bangunan yang "sustainable" (berkelanjutan) dan ramah lingkungan. Bahan bangunan dapat dikatakan ramah lingkungan bila makin sedikit proses perubahan transformasi (teknologi), tidak merusak (mencemari) lingkungan, dan tidak mengganggu kesehatan manusia yang ikut andil di dalam interaksi terhadap material tersebut.


          Tingkat perubahan transformasi bahan bangunan menentukan sejauh mana material tersebut dikatakan cukup ramah lingkungan.
Para ahli telah meneliti material-material tersebut yang menghasilkan perhitungan berapa besar energi dan biaya yang dibutuhkan saat memproses material tersebut. Perhitungan energi dan biaya cukup akurat sehingga dapat dipakai dalam menentukan tingkat "sustainability" bahan bangunan tersebut. Perhitungan tersebut dihitung dari mulai produksi awal, pengambilan material utama, fabrikasi menjadi material siap pakai, pengepakan sampai transportasi ke lokasi dan pemasangan pada bangunan rumah. Sehingga semakin besar proses transformasi tersebut di atas maka makin besar pula energi dan biaya yang dibutuhkan. Dengan demikian  kebalikan dari itu, bahan bangunan dapat dikatakan ramah lingkungan apabila makin sedikitnya energi dan biaya yang dibutuhkan dalam mengadakan material tersebut.

         Bahan bangunan ramah lingkungan juga dapat dinilai dari pengaruhnya terhadap lingkungan hidup dan kesehatan manusia. Ini semua dikarenakan bahan bangunan bisa sebagai pencemar udara, pencemar air dan pencemar tanah.

         Pencemaran udara akibat bahan bangunan yang mengganggu kesehatan sering kali disebabkan oleh kesalahan pelaksana pembangunan (arsitek, insinyur dan pemborong) yang sering sekali mereka tidak merasakan akibatnya. Akibat-akibat pencemaran udara ini akan dirasakan oleh: penghuni rumah, tukang (yang bekerja memasang material yang dipilih oleh perencana), buruh pabrik (yang memproduksi bahan bangunan), dan tukang yang kemudian hari membongkar rumah tersebut.

Janganlah menganggap remeh bahan bangunan recycling. Dengan kreatifitas desain arsitektur rumah yang tinggi akan menghasilkan karya arsitektur yang bernilai dari segi fisik ataupun maknanya.
         Pencemaran air akibat industri bahan bangunan yaitu berupa limbah cair, oli bekas (transportasi truk), dan sebagainya akan mengurangi sumber air minum yang sehat. Telah kita ketahui bersama bahwa persoalan air minum adalaha masalah yang terbesar untuk masa depan bumi kita.

          Sedang pencemaran tanah yang diakibatkan oleh industri material adalah adanya lalu lintas transportasi bahan bangunan dan timbulnya makin banyak pembangunan rumah. Hal ini menyebabkan akan mengurangi jumlah lahan subur untuk pertanian disamping lahan yang adapun akan tercemar dan menumbuhkan bahan makanan yang tidak sehat bagi manusia.

          Dengan latar belakang hal-hal diatas yaitu tingkat tekhnologi, pengaruh terhadap ekologi dan kesehatan manusia maka bahan bangunan yang ramah lingkungan dapat dibuat penggolongannya menurut penggunaan bahan mentah dan tingkat transformasi (perubahan)nya adalah sebagai berikut:

  • Bahan bangunan yang dapat dibudidayakan kembali (regeneratif)
Seperti bahan bangunan nabati misalnya kayu, rotan, rumbia, alang-alang, serabut kelapa, ijuk, kulit kayu, kapas, kapuk, dan lain-lain.
Adapun bahan bdari hewani seperti kulit binatang, wool dan sebagainya.
Semua bahan bangunan tersebut dapat dibudidayakan kembali misalnya, kayu membusuk atau terbakar menjadi karbon yang pada tanah bisa berfungsi sebagai pupuk pohon kayu generasi berikutnya. Persiapan dan penggunaan bahan bangunan ini dilakukan ditempat pelaksaan bangunan dengan penggunaan energi yang kecil dan dengan tekhnologi (kepandaian) pertukangan yang sederhana.

  • Bahan bangunan alam yang dapat digunakan kembali (recycling)
         Bahan bangunan alam yang dapat digunakan kembali adalah bahan bangunan yang tidak dapat dihasilkan lagi (regeneratif), akan tetapi karena kebutuhan bahan tersebut dengan persiapan khusus dapat digunakan lagi. Contoh bahan bangunan ini adalah tanah, tanah liat (lempung), tras, kapur, batu kali, batu alam, pasir, dan sebagainya.

  • Bahan bangunan buatan yang dapat digunakan kembali (recycling dalam fungsi yang berbeda)
         Bahan bangunan ini didapat dari seperti limbah, potongan, sampah, ampas, dan sebagainya dari perusahaan industri. Biasanya material ini dalam bentuk: bahan pembungkus/kemasan (misalnya kardus dan kertas, kaleng bekas, botol bekas, dan sebagainya), mobil bekas (atap mobil bekas, kaca mobil bekas dan sebagainya), ban mobil bekas, serbuk kayu, potongan kain sintetis, potongan kaca, potongan seng dan sebagainya.
Janganlah menganggap remeh bahan bangunan recycling. Dengan kreatifitas desain arsitektur rumah yang tinggi akan menghasilkan karya arsitektur yang bernilai dari segi fisik ataupun maknanya.
Golongan bahan bangunan ini lambat laun akan hilang apabila pembangunan ekologis telah tercapai di dalam masyarakat yang hidup seimbang dengan lingkungan alamnya.

  • Bahan bangunan alam yang mengalami perubahan transformasi sederhana
         Bahan bangunan ini disediakan secara industri rumah , seperti misalnya batu bata, genteng tanah liat. Kedua bahan bangunan tersebut berbahan mentah tanah liat yang terdapat dimana saja. Setelah dibentuk tanah liat ini kemudian dibakar. Bahan bangunan ini adalah bahan bangunan tertua yang diciptakan manusia. Proses pembuatan yang sederhana dari batu bata dan genteng biasanya dilakukan oleh rakyat di desa-desa setempat. Sehingga kegiatan ini mendukung peningkatan ekonomi rakyat.

         Sebagai tambahan saya akan memaparkan juga beberapa material yang kurang atau tidak ramah lingkungan. Hal ini akan menjadi makin memperjelas betapa ramah lingkungannya bahan bangunan-bahan bangunan yang telah disebutkan diatas, bahan bangunan ini antara lain:

  • Bahan bangunan komposit
         Adalah merupakan bahan bangunan yang tercampur menjadi satu kesatuan dan tidak dapat dibagi-bagi lagi menjadi bagian bangunan.
Contohnya, batu buatan yang tidak dibakar (batako genteng beton dan conblock) yaitu campuran antara pasir dan semen. Bahan bangunan batu buatan yang tidak dibakar ini meskipun tergolong bahan bangunan komposit dan kurang ramah terhadap lingkungan, material ini biasanya diproses oleh industri rumah yang dimiliki oleh rakyat. Jadi, masih tergolong agak ramah lingkungan.
Contoh lain adalah bahan bangunan yang dilebur (logam dan kaca). Kemudian juga bahan bangunan sebagai pengikat/perekat (semen merah, kapur merah, kapur padam, kapur kering dan semen). Termasuk bahan bangunan komposit seperti beton bertulang, pelat serat (fiber) semen, beton komposit, cat kimia, perekat, dan dempul.

  • Bahan bangunan yang mengalami beberapa tingkat perubahan transformasi
         Ialah bahan bangunan sintetik (plastik). Bahan bangunan sintetik mamakai bahan mentah fosil (minyak bumi, arang atau gas). Dalam proses pembuatannya bahan bangunan sintetik banyak memerlukan energi. Contoh bahan bangunan ini misalnya, pipa air bersih dan kotor dari PVC, lapisan lantai, selang, zat pelengkap cat, peralatan listrik, profil plastik, busa yang elastis, topi pelindung, pelat transparan plastik bergelombang, alat perlengkapan pintu dan jendela, perekat yang tahan cuaca, karet sintetis, bahan penutup celah bangunan, cat kedap air, dan sebagainya.
Bahan bangunan sintetik ini tergolong mengkhawatirkan dalam masalah lingkungan hidup dikarenakan
  • Mengandung zat pelunak yang membahayakan bagi kesehatan manusia (PVC)
  • PVC dan PE yang banyak dipakai bahan bangunan sintetik agak sukar di daur ulang (PVC) dan agak mahal didaur ulang (PE).
  • Pengolahan harus melewati beberapa proses yang ternyata tidak bisa dibalik (irreversible). 
  • Menggunakan bahan baku minyak bumi yang tidak bisa diperbarui.
  • Dalam pengolahannya banyak membutuhkan energi.

          Nah, kalau sudah begini sudah seberapa "green" kah rumah Anda ? Atau Anda baru mau mulai mendesain dan membangun rumah Anda ? Ayo ! kita canangkan ! Anda akan membuat rumah Anda benar-benar ramah lingkungan dengan menggunakan bahan bangunan yang ekologis.
Siapa tahu rumah Anda akan menjadi acuan rumah-rumah yang lain dalam menerapkan konsep rumah ramah lingkungan.

Ruang Terbuka Kota

 A. DASAR PEMIKIRAN (1) Kota mempunyai luas yang tertentu dan terbatas  Permintaan akan pemanfaatan lahan kota yang terus tumbuh dan bersifat akseleratif untuk untuk pembangunan berbagai fasilitas perkotaan, ter-masuk kemajuan teknologi, industri dan transportasi, selain sering meng-ubah konfigurasi alami lahan/bentang alam perkotaan juga menyita lahan-lahan tersebut dan berbagai bentukan ruang terbuka lainnya. Kedua hal ini umumnya merugikan keberadaan RTH yang sering dianggap sebagai lahan cadangan dan tidak ekonomis. Di lain pihak, kemajuan alat dan pertambah-an jalur transportasi dan sistem utilitas, sebagai bagian dari peningkatan kesejahteraan warga kota, juga telah menambah jumlah bahan pencemar dan telah menimbulkan berbagai ketidak nyamanan di lingkungan perkota-an. Untuk mengatasi kondisi lingkungan kota seperti ini sangat diperlukan RTH sebagai suatu teknik bioengineering dan bentukan biofilter yang relatif lebih murah, aman, sehat, dan menyamankan.  (2) Tata ruang kota penting dalam usaha untuk efisiensi sumberdaya kota dan juga efektifitas penggunaannya, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya lainnya.  Ruang-ruang kota yang ditata terkait dan saling berkesinambungan ini mem-punyai berbagai pendekatan dalam perencanaan dan pembangunannya. Tata guna lahan, sistem transportasi, dan sistem jaringan utilitas merupakan tiga faktor utama dalam menata ruang kota. Dalam perkembangan selanjutnya, konsep ruang kota selain dikaitkan dengan permasalahan utama perkotaan yang akan dicari solusinya juga dikaitkan dengan pencapaian tujuan akhir dari suatu penataan ruang yaitu untuk kesejahteraan, kenyamanan, serta kesehatan warga dan kotanya.  (3) RTH perkotaan mempunyai manfaat kehidupan yang tinggi  Berbagai fungsi yang terkait dengan keberadaannya (fungsi ekologis, sosial, ekonomi, dan arsitektural) dan nilai estetika yang dimilikinya (obyek dan lingkungan) tidak hanya dapat dalam meningkatkan kualitas lingkungan dan untuk kelangsungan kehidupan perkotaan tetapi juga dapat menjadi nilai kebanggaan dan identitas kota. Untuk mendapatkan RTH yang fungsional dan estetik dalam suatu sistem perkotaan maka luas minimal, pola dan struktur, serta bentuk dan distribusinya harus menjadi pertimbangan dalam   Dep PU/RTH Wilayah Perkotaan/LPL-301105 2   membangun dan mengembangkannya. Karakter ekologis, kondisi dan ke-inginan warga kota, serta arah dan tujuan pembangunan dan perkembangan kota merupakan determinan utama dalam menentukan besaran RTH fungsi-onal ini.  (4) Keberadaan RTH penting dalam mengendalikan dan memelihara integritas dan kualitas lingkungan. Pengendalian pembangunan wilayah perkotaan harus dilakukan secara proporsional dan berada dalam keseimbangan antara pembangunan dan fungsi-fungsi lingkungan.  (5) Kelestarian RTH suatu wilayah perkotaan harus disertai dengan ketersediaan dan seleksi tanaman yang sesuai dengan arah rencana dan rancangannya.   B. KONSEP RTH  (1) Definisi dan Pengertian  Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut.  Berdasarkan bobot kealamiannya, bentuk RTH dapat diklasifikasi menjadi (a) bentuk RTH alami (habitat liar/alami, kawasan lindung) dan (b) bentuk RTH non alami atau RTH binaan (pertanian kota, pertamanan kota, lapangan olah raga, pemakaman, berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya diklasi-fikasi menjadi (a) bentuk RTH kawasan (areal, non linear), dan (b) bentuk RTH jalur (koridor, linear), berdasarkan penggunaan lahan atau kawasan fungsionalnya diklasifikasi menjadi (a) RTH kawasan perdagangan, (b) RTH kawasan perindustrian, (c) RTH kawasan permukiman, (d) RTH kawasan per-tanian, dan (e) RTH kawasan-kawasan khusus, seperti pemakaman, hankam, olah raga, alamiah.  Status kepemilikan RTH diklasifikasikan menjadi (a) RTH publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan publik atau lahan yang dimiliki oleh peme-rintah (pusat, daerah), dan (b) RTH privat atau non publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan milik privat.   (2) Fungsi dan Manfaat  RTH, baik RTH publik maupun RTH privat, memiliki fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis, dan fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu fungsi arsitek-tural, sosial, dan fungsi ekonomi. Dalam suatu wilayah perkotaan empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan, kepenting-an, dan keberlanjutan kota.  Dep PU/RTH Wilayah Perkotaan/LPL-301105 3 RTH berfungsi ekologis, yang menjamin keberlanjutan suatu wilayah kota secara fisik, harus merupakan satu bentuk RTH yang berlokasi, berukuran, dan berbentuk pasti dalam suatu wilayah kota, seperti RTH untuk per-lindungan sumberdaya penyangga kehidupan manusia dan untuk membangun jejaring habitat hidupan liar. RTH untuk fungsi-fungsi lainnya (sosial, ekonomi, arsitektural) merupakan RTH pendukung dan penambah nilai kualitas lingkungan dan budaya kota tersebut, sehingga dapat berlokasi dan berbentuk sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, seperti untuk ke-indahan, rekreasi, dan pendukung arsitektur kota.  Manfaat RTH berdasarkan fungsinya dibagi atas manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat tangible) seperti mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga), kenyamanan fisik (teduh, segar), keingin-an dan manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible) seperti perlindungan tata air dan konservasi hayati atau keanekaragaman hayati.  (3) Pola dan Struktur Fungsional  Pola RTH kota merupakan struktur RTH yang ditentukan oleh hubungan fungsional (ekologis, sosial, ekonomi, arsitektural) antar komponen pemben-tuknya. Pola RTH terdiri dari (a) RTH struktural, dan (b) RTH non struktural.  RTH struktural merupakan pola RTH yang dibangun oleh hubungan fungsi-onal antar komponen pembentuknya yang mempunyai pola hierarki plano-logis yang bersifat antroposentris. RTH tipe ini didominasi oleh fungsi-fungsi non ekologis dengan struktur RTH binaan yang berhierarkhi. Contohnya adalah struktur RTH berdasarkan fungsi sosial dalam melayani kebutuhan rekreasi luar ruang (outdoor recreation) penduduk perkotaan seperti yang diperlihatkan dalam urutan hierakial sistem pertamanan kota (urban park system) yang dimulai dari taman perumahan, taman lingkungan, taman ke-camatan, taman kota, taman regional, dst). RTH non struktural merupakan pola RTH yang dibangun oleh hubungan fungsional antar komponen pem-bentuknya yang umumnya tidak mengikuti pola hierarki planologis karena bersifat ekosentris. RTH tipe ini memiliki fungsi ekologis yang sangat dominan dengan struktur RTH alami yang tidak berhierarki. Contohnya adalah struktur RTH yang dibentuk oleh konfigurasi ekologis bentang alam perkotaan tersebut, seperti RTH kawasan lindung, RTH perbukitan yang terjal, RTH sempadan sungai, RTH sempadan danau, RTH pesisir.  Untuk suatu wilayah perkotaan, maka pola RTH kota tersebut dapat dibangun dengan mengintegrasikan dua pola RTH ini berdasarkan bobot tertinggi pada kerawanan ekologis kota (tipologi alamiah kota: kota lembah, kota pegunungan, kota pantai, kota pulau, dll) sehingga dihasilkan suatu pola RTH struktural.  Dep PU/RTH Wilayah Perkotaan/LPL-301105 4 (4) Elemen Pengisi RTH  RTH dibangun dari kumpulan tumbuhan dan tanaman atau vegetasi yang telah diseleksi dan disesuaikan dengan lokasi serta rencana dan rancangan peruntukkannya. Lokasi yang berbeda (seperti pesisir, pusat kota, kawasan industri, sempadan badan-badan air, dll) akan memiliki permasalahan yang juga berbeda yang selanjutnya berkonsekuensi pada rencana dan rancangan RTH yang berbeda.  Untuk keberhasilan rancangan, penanaman dan kelestariannya maka sifat dan ciri serta kriteria (a) arsitektural dan (b) hortikultural tanaman dan vegetasi penyusun RTH harus menjadi bahan pertimbangan dalam men-seleksi jenis-jenis yang akan ditanam.  Persyaratan umum tanaman untuk ditanam di wilayah perkotaan:  (a) Disenangi dan tidak berbahaya bagi warga kota  (b) Mampu tumbuh pada lingkungan yang marjinal (tanah tidak subur, udara dan air yang tercemar)  (c) Tahan terhadap gangguan fisik (vandalisme)  (d) Perakaran dalam sehingga tidak mudah tumbang  (e) Tidak gugur daun, cepat tumbuh, bernilai hias dan arsitektural  (f) Dapat menghasilkan O2 dan meningkatkan kualitas lingkungan kota  (g) Bibit/benih mudah didapatkan dengan harga yang murah/terjangkau oleh masyarakat  (h) Prioritas menggunakan vegetasi endemik/lokal  (i) Keanekaragaman hayati   Jenis tanaman endemik atau jenis tanaman lokal yang memiliki keunggulan tertentu (ekologis, sosial budaya, ekonomi, arsitektural) dalam wilayah kota tersebut menjadi bahan tanaman utama penciri RTH kota tersebut, yang selanjutnya akan dikembangkan guna mempertahankan keanekaragaman hayati wilayahnya dan juga nasional.  (5) Teknis Perencanaan  Dalam rencana pembangunan dan pengembangan RTH yang fungsional suatu wilayah perkotaan, ada 4 (empat) hal utama yang harus diperhatikan yaitu  (a) Luas RTH minimum yang diperlukan dalam suatu wilayah perkotaan di-tentukan secara komposit oleh tiga komponen berikut ini, yaitu:  1) Kapasitas atau daya dukung alami wilayah  2) Kebutuhan per kapita (kenyamanan, kesehatan, dan bentuk pela-yanan lainnya)  3) Arah dan tujuan pembangunan kota  RTH berluas minimum merupakan RTH berfungsi ekologis yang ber-lokasi, berukuran, dan berbentuk pasti, yang melingkup RTH publik dan   Dep PU/RTH Wilayah Perkotaan/LPL-301105 5  RTH privat. Dalam suatu wilayah perkotaan maka RTH publik harus berukuran sama atau lebih luas dari RTH luas minimal, dan RTH privat merupakan RTH pendukung dan penambah nilai rasio terutama dalam meningkatkan nilai dan kualitas lingkungan dan kultural kota.   (b) Lokasi lahan kota yang potensial dan tersedia untuk RTH  (c) Sruktur dan pola RTH yang akan dikembangkan (bentuk, konfigurasi,   dan distribusi)  (d) Seleksi tanaman sesuai kepentingan dan tujuan pembangunan kota.   C. ISSUE RTH  Tiga issues utama dari ketersediaan dan kelestarian RTH adalah  (1) Dampak negatif dari suboptimalisasi RTH dimana RTH kota tersebut tidak memenuhi persyaratan jumlah dan kualitas (RTH tidak tersedia, RTH tidak fungsional, fragmentasi lahan yang menurunkan kapasitas lahan dan selan-jutnya menurunkan kapasitas lingkungan, alih guna dan fungsi lahan) terjadi terutama dalam bentuk/kejadian:  􀂃Menurunkan kenyamanan kota: penurunan kapasitas dan daya dukung wilayah (pencemaran meningkat, ketersediaan air tanah menurun, suhu kota meningkat, dll)  􀂃Menurunkan keamanan kota  􀂃Menurunkan keindahan alami kota (natural amenities) dan artifak alami sejarah yang bernilai kultural tinggi  􀂃Menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat (menurunnya kesehatan masyarakat secara fisik dn psikis)  (2) Lemahnya lembaga pengelola RTH  􀂃Belum terdapatnya aturan hukum dan perundangan yang tepat  􀂃Belum optimalnya penegakan aturan main pengelolaan RTH  􀂃Belum jelasnya bentuk kelembagaan pengelola RTH  􀂃Belum terdapatnya tata kerja pengelolaan RTH yang jelas  (3) Lemahnya peran stake holders  􀂃Lemahnya persepsi masyarakat  􀂃Lemahnya pengertian masyarakat dan pemerintah   (4) Keterbatasan lahan kota untuk peruntukan RTH  􀂃Belum optimalnya pemanfaatan lahan terbuka yang ada di kota untuk RTH fungsional   D. ACTION PLAN  Pembangunan dan pengelolaan RTH wilayah perkotaan harus menjadi substansi yang terakomodasi secara hierarkial dalam perundangan dan peraturan serta  Dep PU/RTH Wilayah Perkotaan/LPL-301105 6 pedoman di tingkat nasional dan daerah/kota. Untuk tingkat daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota, permasalahan RTH menjadi bagian organik dalam Ren-cana Tata Ruang Wilayah dan subwilayah yang diperkuat oleh peraturan daerah.  Dalam pelaksanaannya, pembangunan dan pengelolaan RTH juga mengikut sertakan masyarakat untuk meningkatkan apresiasi dan kepedulian mereka terha-dap, terutama, kualitas lingkungan alami perkotaan, yang cenderung menurun.  Beberapa action plan yang dapat dilaksanakan, a.l.:  (1) Issues : Suboptimalisasi RTH  Action plan yang disarankan:  (a) Penyusunan kebutuhan luas minimal/ideal RTH sesuai tipologi kota  (b) Penyusunan indikator dan tolak ukur keberhasilan RTH suatu kota  (c) Rekomendasi penggunaan jenis-jenis tanaman dan vegetasi endemik serta jenis-jenis unggulan daerah untuk penciri wilayah dan untuk me-ningkatkan keaneka ragaman hayati secara nasional  (2) Issues : Lemahnya kelembagaan pengelola RTH  Action plan yang disarankan:  (a) Revisi dan penyusunan payung hukum dan perundangan (UU, PP, dll)  (b) Revisi dan penyusunan RDTR, RTRTH, UDGL, dll  (c) Penyusunan Pedoman Umum : Pembangunan RTH, Pengelolaan RTH  (d) Penyusunan mekanisme insentif dan disinsentif  (e) Pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat  (3) Issues : Lemahnya peran stake holders  Action plan yang disarankan:  (a) Pencanangan Gerakan Bangun, Pelihara, dan Kelola RTH (contoh Gerakan Sejuta Pohon, Hijau royo-royo, Satu pohon satu jiwa, Rumah dan Pohonku, Sekolah Hijau, Koridor Hijau dan Sehat, dll)  (b) Penyuluhan dan pendidikan melalui berbagai media  (c) Penegasan model kerjasama antar stake holders  (d) Perlombaan antar kota, antar wilayah, antar subwilayah untuk mening-katkan apresiasi, partisipasi, dan responsibility terhadap ketersediaan tanaman dan terhadap kualitas lingkungan kota yang sehat dan indah  (4) Issues : Keterbatasan lahan perkotaan untuk peruntukan RTH  Action plan yang disarankan:  (a) Peningkatan fungsi lahan terbuka kota menjadi RTH  (b) Peningkatan luas RTH privat  (c) Pilot project RTH fungsional untuk lahan-lahan sempit, lahan-lahan marjinal, dan lahan-lahan yang diabaikan   Kampus Bogor Darmaga, 30 November 2005  Tim Departemen ARL Faperta IPB  Dep PU/RTH Wilayah Perkotaan/LPL-301105 7   Tabel issues Issues     Action Plan  1. Suboptimalisasi RTH      a. Penyusunan kebutuhan luas minimal/ideal RTH sesuai tipologi kota  b. Penyusunan indikator dan tolak ukur keberhasilan RTH suatu kota   c. Rekomendasi penggunaan jenis-jenis tanaman dan vegetasi endemik serta jenis-jenis tanaman unggulan untuk penciri wilayah dan untuk meningkatkan keanekaragaman hayati secara nasional  2. Lemahnya kelembagaan pengelola RTH      a. Revisi dan penyusunan payung hukum dan perundangan (UU, PP, dll)  b. Revisi dan penyusunan RDTR, RTRTH, UDGL, dll  c. Penyusunan Pedoman Umum : Pembangunan RTH, Pengelolaan RTH  d. Penyusunan mekanisme insentif dan disinsentif  e. Pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat   3. Lemahnya peran stake holders      a. Pencanangan Gerakan Bangun & Kelola RTH : Satu pohon, satu jiwa  b. Penyuluhan dan pendidikan melalui berbagai media  c. Penegasan model kerjasama antara stake holders  d. Perlombaan antar kota, antar wilayah, antar subwilayah untuk meningkatkan apresiasi dan partisipasi   4. Keterbatasan lahan perkotaan untuk peruntukan RTH      a. Peningkatan fungsi lahan terbuka kota menjadi RTH   b. Peningkatan luas RTH privat  c. Pilot project RTH fungsional untuk lahan-lahan sempit dan marjinal